Tidak semua peperangan melawan orang-orang kafir atau rezim Romawi
saat itu, dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW. Dalam beberapa pertempuran
membela agama itu, posisi panglima perang ada kalanya didelegasikan kepada para
sahabat. Peperangan Muktah, salah satunya.
Saat Rasulullah akan melepas pasukan Islam ke medan pertempuran
Muktah, ia berpesan kepada pasukan Muslim, "Kalian semua berada di bawah
pimpinan Zaid bin Haritsah. Seandainya ia tewas, pimpinan akan diambil alih
oleh Ja'far bin Abi Thalib. Seandainya Ja'far tewas pula, maka komando
hendaklah dipegang oleh Abdullah bin Rawahah."
Siapa sejatinya Zaid bin Haritsah? Para pakar
sejarah melukiskan sosok ini sebagai pria dengan perawakan biasa, pendek,
kulitnya coklat kemerah-merahan, dan hidung yang agak pesek. Soal kapan dan di
mana dia lahir, tak ada bukti pasti maupun catatan sejarah yang menegaskan hal
itu. Goresan sejarah yang pasti adalah, Zaid termasuk salah seorang pahlawan
agung Islam yang kesetiaan dan pembelaannya terhadap Rasulullah tidak diragukan
lagi.
Zaid kecil sesungguhnya tak lepas dari kisah pedih dan penderitaan keluarganya. Ia misalnya diketahui, sejak kecil sudah harus berpisah dengan ibunya, Su'da, yang dititipkan oleh ayahnya, Haritsah, ziarah ke sanak familinya di kampung Bani Maan. Su'da sedang menggendong anaknya yang masih kecil, Zaid bin Haritsah, ketika suaminya hendak menitipkan isteri dan anaknya kepada rombongan kafilah yang akan berangkat. Kafilah berangkat meninggalkan kampung itu, dan Haritsah pun mengucapkan selamat jalan kepada isteri dan anaknya.
Zaid kecil sesungguhnya tak lepas dari kisah pedih dan penderitaan keluarganya. Ia misalnya diketahui, sejak kecil sudah harus berpisah dengan ibunya, Su'da, yang dititipkan oleh ayahnya, Haritsah, ziarah ke sanak familinya di kampung Bani Maan. Su'da sedang menggendong anaknya yang masih kecil, Zaid bin Haritsah, ketika suaminya hendak menitipkan isteri dan anaknya kepada rombongan kafilah yang akan berangkat. Kafilah berangkat meninggalkan kampung itu, dan Haritsah pun mengucapkan selamat jalan kepada isteri dan anaknya.
Sesampai di tempat tujuan, beberapa waktu kemudian terjadilah
musibah yang menimpa penduduk kampung Bani Maan. Kampung itu habis
porak-poranda diserang oleh gerombolan perampok Badui. Semua barang berharga
milik penduduk kampung dikuras habis, penduduknya ditawan dan digiring oleh
para perampok itu sebagai tawanan, termasuk si kecil Zaid bin Haritsah.
Ketika kabilah perampok yang menyerang desa Bani Maan berhasil
dengan rampokannya, mereka pergi ke pasar Ukaz menjual barang-barang dan
tawanan rampokannya. Si kecil Zaid dibeli oleh Hakim bin Hizam. Di kemudian
hari, ia memberikannya kepada saudara tua perempuannya, Siti Khadijah. Ketika
itu, Khadijah Ra telah menjadi isteri Muhammad bin Abdullah (sebelum diangkat
menjadi Rasul oleh Allah SWT).
Khadijah kemudian memberikan khadamnya, Zaid, sebagai pelayan bagi
Muhammad. Laki-laki ini menerimanya dengan senang hati, dan segera
memerdekakannya. Dengan kepribadian dan fisiknya yang besar dan jiwanya yang
mulia, Zaid diasuh dan dididik oleh Khadijah dengan segala kelembutan dan kasih
sayang seperti halnya anak sendiri.
Suatu ketika di musim haji, sekelompok orang dari desa tempat
Haritsah tinggal berjumpa dengan Zaid di Mekkah. Mereka menyampaikan kerinduan
ayah bunda Zaid. Ayah Zaid menyusul menemui Muhammad.
Setelah bertemu dengan Muhammad, Haritsah berkata, "Wahai
Ibnu Abdul Muththalib...! Wahai putera dari pemimpin kaumnya! Anda termasuk
penduduk Tanah Suci yang biasa membebaskan orang tertindas, yang suka memberi
makanan para tawanan. Kami datang ini kepada Anda hendak meminta anak kami.
Sudilah kiranya menyerahkan anak itu kepada kami dan bermurah hatilah menerima
uang tebusannya seberapa adanya?"
Tak saja merasakan benar bahwa hati Zaid telah lekat dan terpaut
kepadanya, Muhammad juga merasakan pula seorang ayah terhadap anaknya, Zaid.
Maka, kata Muhammad kepada Haritsah, "Panggillah Zaid itu ke sini, suruh
ia memilih sendiri. Seandainya dia memilih Anda, maka akan saya kembalikan
kepada Anda tanpa tebusan. Sebaliknya, jika ia memilihku, maka demi Allah aku
tak hendak menerima tebusan dan tak akan menyerahkan orang yang telah
memilihku!"
Mendengar ucapan Muhammad demikian, wajah Haritsah berseri-seri
karena tak disangkanya sama sekali keluar darinya kemurahan seperti itu, lalu
ucapnya: "Benar-benar Anda telah menyadarkan kami dan Anda beri pula
keinsyafan di balik kesadaran itu!" Kemudian Muhammad menyuruh seseorang
untuk memanggil Zaid. Setiba di hadapannya, Rasul bertanya, "Tahukah
Engkau siapa orang-orang ini?" "Ya, tahu," jawab Zaid."
Yang ini ayahku, sedangkan yang seorang lagi adalah pamanku. Tapi, tak ada
orang pilihanku, kecuali Anda (Muhammad)! Andalah ayah, dan Andalah pamanku!"
Mendengar itu, kedua mata Muhammad basah karena rasa syukur dan
haru. Lalu dipegangnya tangan Zaid, dan dibawanya ke pekarangan Ka'bah, tempat
orang-orang Quraisy banyak berkumpul, lalu serunya: "Saksikan oleh kalian
semua bahwa mulai saat ini Zaid adalah anakku yang akan menjadi ahli warisku
dan aku jadi ahli warisnya."
Mendengar ucapan itu hati Haritsah seakan-akan berada
diawang-awang karena suka citanya, sebab ia bukan saja telah menemukan kembali
anaknya bebas merdeka tanpa tebusan, malahan sekarang diangkat pula sebagai
anak oleh seseorang yang termulia dari suku Quraisy yang terkenal dengan
sebutan "Ash-Shadiqul Amin" (orang lurus tepercaya), keturunan Bani
Hasyim, tumpuan penduduk kota Mekkah seluruhnya. Sejak saat itu, Zaid terkenal
di kalangan penduduk Mekkah dengan nama "Zaid bin Muhammad."
Tak berapa lama, seruan wahyu yang pertama pun datang kepada
Muhammad, "Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan! Ia
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah, yang telah mengajari manusia dengan kalam (pena). Mengajari manusia
apa-apa yang tidak diketahuinya." (Al-Alaq: 1-5). Menyusul kemudian wahyu
dalam surat Al-Muddatsir: 1-3, dan Al-Maidah: 67.
Tidak tak lama setelah Muhammad memikul tugas kerasulannya dengan
turunnya wahyu tersebut, jadilah Zaid sebagai orang kedua yang masuk Islam,
bahkan ada yang mengatakan sebagai orang pertama. Rasul sangat sayang sekali
kepada Zaid. Kesayangan Nabi itu memang pantas dan wajar disebabkan
kejujurannya, kebesaran jiwanya, kelembutan dan kesucian hatinya, serta
terpelihara lidah dan tangannya.
Betapa mulia kedudukan Zaid di sisi Rasul, sampai-sampai Aisyah Ra
pernah berkata, "Setiap Rasulullah mengirimkan suatu pasukan yang disertai
oleh Zaid, pastilah ia yang selalu diangkat menjadi pemimpinnya.
Seandainya ia masih hidup sesudah Rasul, tentulah ia akan
diangkatnya sebagai khalifah." Begitulah Zaid, seorang anak yang pernah
ditawan, diperjualbelikan, lalu dibebaskan Rasul dan dimerdekakannya dan
menjadi pembela utama Rasulullah.
0 komentar:
Post a Comment