1. Peran Suasana Hati dan
Sifat Kepribadian dalam Negosiasi
Hasil penilaian terhadap hubungan
kepribadian-negosiasi menunjukan bahwa sifat-sifat kepribadian tidak memiliki
pengaruh langsung yang signifikan terhadap proses tawar-menawar ataupun hasil
negosiasi. Namun teori terbaru mempertanyakan penilaian yang menganggap sifat
tidak berpengaruh pada proses negosiasi. Teori terbaru menunjukan bahwa ada
hubungan yang saling terkait antara kepribadian dan proses negosiasi. Orang
ekstrovert akan lebih menyenangi proses tawar-menawar integrative ketimbang
tawar-menawar distributive, karena orang-orang ekstrovert suka menyenangkan
hati orang lain.
Ego yang besar juga mempengaruhi
negosiasi. Sebuah studi menunjukan bahwa individu-individu yang sangat
memperdulikan penampilan sebgai orang yang kompeten dan sukses dalam negosiasi
(yaitu menyelamatkan muka) – dapat berpengaruh negative terhadap hasil negosiasi.
Individu-individu yang lebih berpikir menyelamatkan mukanya sendiri memiliki
kemungkinan yang lebih kecil untuk mencapai kesepakatan. Ini dikarenakan mereka
yang terlalu kompetitif negosiasi melakukan perundingan untuk membuat diri
mereka tampak lebih cerdas, baik, dll daripada untuk mencapai kesepakatan
terbaik bagi semua pihak terkait. Jadi orang yang mampu melepas ego mereka
sendiri mampu menegosiasikan kesepakatan secara lebih baik bagi mereka maupun
pihak lain, baik dalam distributive maupun integrative.
2. Perbedaan Gender dalam
Negosiasi
Streotip popular yang dianut banyak orang
mengatakan bahwa kaum perempuan lebih kooperatif dan menyenangkan dalam
negosiasi daripada kaum laki-laki. Namun, laki-laki ditemukan mampu
menegosiasikan hasil yang lebih baik ketimbang perempuan, meskipun perbedaanya
relative kecil. Diasumsikan bahwa perbedaan ini kiranya dikarenakan laki-laki
dan perempuan menempatkan nilai yang berbeda pada hasil negosiasi.
Penelitian menunjukan bahwa para manajer
yang tidak memiliki kekuasaan tidak banyak, tanpa memandang jenis kelamin,
cenderung berusaha menyenangkan lawan mereka dan menggunakan teknik persuasive
yang lembut ketimbang konfrontasi langsung dan ancaman. Dalam situasi dimana
laki-laki dan perempuan memiliki kekuasaan yang sama, rasanya tidak signifikan
perbedaan gaya negosiasi. Namun jika stereotip popular (perempuan =
menyenangkan, laki-laki = alot) diaktifkan lagi
yang terjadi adalah terpenuhinya ramalan tersebut, yang semakin memperkuat
perbedaan gender yang bersifat stereotip.
Manajer perempuan memperlihatkan rasa
kurang percaya diri dalam mengantisipasi negosiasi dan lebih tidak puas dengan
kinerja mereka setelah proses perundingan selesai, bahkan ketika hasil yang
dicapai = hasil yang dicapai laki-laki. Kesimpulannya menunjukan bahwa
perempuan bias terlalu menghukum diri sendiri karena tidak bias ikut dalam
negosiasi padahal ini merupakan kepentingan terbesar mereka.
3. Perbedaan Kultur dalam
Negosiasi
Gaya bernegosiasi beragam antara satu
kultur dengan kultur lainnya. Konteks kultur dalam negosiasi secara signifikan
mempengaruhi jumlah dan jenis persiapan untuk tawar-menawar, penekanan relative
pada tugas disbanding hubungan antarpersonal, dan bahkan dimana negosiasi akan
dilaksanakan.
4. Negosiasi Pihak Ketiga
Dalam melakukan proses negosiasi terkadang
individu atau perwakilan kelompok mencapai kebuntuan dan tidak mampu
menyelesaikan perbedaan-perbedaan di antara mereka melalui negosiasi langsung.
Dalam kasus ini, mereka dapat berpaling ke pihak ketiga untuk membantu mencari
solusi. Ada 4 peran pokok pihak ketiga :
a) Mediator
Pihak ketiga bersikap netral yang memfasilitasi
negosiasi solusi dengan menggunakan penalaran dan persuasi, menyodorkan
alternative dan semacamnya.
b) Arbitrator
Pihak ketiga memiliki wewenang untuk menentukan
kesepakatan. Bisa bersifat sukarela maupun paksaan (berdasarkan kontrak atau
undang-undang yang berlaku). Wewenang arbitrator beragam sesuai dengan aturan
yang ditetapkan oleh para perunding.
Kelebihan arbitrasi daripada mediasi adalah bahwa
arbitrasi selalu menghasilkan penyelesaian entah win-win solution maupun
kemenangan di salah satu pihak yang berunding. Namun dapat menimbulkan konflik
dikemudian hari.
c) Konsilitator
Pihak ketiga dipercaya membangun relasi
komunikasiinformal antara perunding dengan lawannya. Dalam prakteknya,
konsiliator tidak hanya sebagai saluran komunikasi namun juga terlibat dalam
pencarian fakta, penafsiran pesan, membujuk pihak-pihak yangbersengketa untuk
membangun kesepakatan
d) Konsultan
Pihak ketiga yang terlatih dan tak berpihak yang
berupaya memfasilitasi pemecahan masalah melalui komunikasi dan analisis dengn
dibantu oleh pengetahuan mereka mengenai menajemen konflik. Peran konsultan
memperbaiki hubungan antara pihak-pihak yang berkonflik sehingga dapat mencapai
penyelesaian sendiri. Pendekatan ini membutuhkan jangka waktu yang panjang
karena membangun persepsi dan sikap yang baru dan positif antara pihak-pihak
bersengketa.
Sumber : Stephen P.Robbins-Timothy A.Judge. Organizational Behavior. 2008
0 komentar:
Post a Comment