Monday, July 29, 2013

TEORI NEGOSIASI bag.3 Isu-Isu Dalam Negosiasi

1.      Peran Suasana Hati dan Sifat Kepribadian dalam Negosiasi
Hasil penilaian terhadap hubungan kepribadian-negosiasi menunjukan bahwa sifat-sifat kepribadian tidak memiliki pengaruh langsung yang signifikan terhadap proses tawar-menawar ataupun hasil negosiasi. Namun teori terbaru mempertanyakan penilaian yang menganggap sifat tidak berpengaruh pada proses negosiasi. Teori terbaru menunjukan bahwa ada hubungan yang saling terkait antara kepribadian dan proses negosiasi. Orang ekstrovert akan lebih menyenangi proses tawar-menawar integrative ketimbang tawar-menawar distributive, karena orang-orang ekstrovert suka menyenangkan hati orang lain.
Ego yang besar juga mempengaruhi negosiasi. Sebuah studi menunjukan bahwa individu-individu yang sangat memperdulikan penampilan sebgai orang yang kompeten dan sukses dalam negosiasi (yaitu menyelamatkan muka) – dapat berpengaruh negative terhadap hasil negosiasi. Individu-individu yang lebih berpikir menyelamatkan mukanya sendiri memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk mencapai kesepakatan. Ini dikarenakan mereka yang terlalu kompetitif negosiasi melakukan perundingan untuk membuat diri mereka tampak lebih cerdas, baik, dll daripada untuk mencapai kesepakatan terbaik bagi semua pihak terkait. Jadi orang yang mampu melepas ego mereka sendiri mampu menegosiasikan kesepakatan secara lebih baik bagi mereka maupun pihak lain, baik dalam distributive maupun integrative.

2.      Perbedaan Gender dalam Negosiasi
Streotip popular yang dianut banyak orang mengatakan bahwa kaum perempuan lebih kooperatif dan menyenangkan dalam negosiasi daripada kaum laki-laki. Namun, laki-laki ditemukan mampu menegosiasikan hasil yang lebih baik ketimbang perempuan, meskipun perbedaanya relative kecil. Diasumsikan bahwa perbedaan ini kiranya dikarenakan laki-laki dan perempuan menempatkan nilai yang berbeda pada hasil negosiasi.
Penelitian menunjukan bahwa para manajer yang tidak memiliki kekuasaan tidak banyak, tanpa memandang jenis kelamin, cenderung berusaha menyenangkan lawan mereka dan menggunakan teknik persuasive yang lembut ketimbang konfrontasi langsung dan ancaman. Dalam situasi dimana laki-laki dan perempuan memiliki kekuasaan yang sama, rasanya tidak signifikan perbedaan gaya negosiasi. Namun jika stereotip popular (perempuan = menyenangkan, laki-laki = alot) diaktifkan lagi  yang terjadi adalah terpenuhinya ramalan tersebut, yang semakin memperkuat perbedaan gender yang bersifat stereotip.
Manajer perempuan memperlihatkan rasa kurang percaya diri dalam mengantisipasi negosiasi dan lebih tidak puas dengan kinerja mereka setelah proses perundingan selesai, bahkan ketika hasil yang dicapai = hasil yang dicapai laki-laki. Kesimpulannya menunjukan bahwa perempuan bias terlalu menghukum diri sendiri karena tidak bias ikut dalam negosiasi padahal ini merupakan kepentingan terbesar mereka.

3.      Perbedaan Kultur dalam Negosiasi
Gaya bernegosiasi beragam antara satu kultur dengan kultur lainnya. Konteks kultur dalam negosiasi secara signifikan mempengaruhi jumlah dan jenis persiapan untuk tawar-menawar, penekanan relative pada tugas disbanding hubungan antarpersonal, dan bahkan dimana negosiasi akan dilaksanakan.

4.      Negosiasi Pihak Ketiga
Dalam melakukan proses negosiasi terkadang individu atau perwakilan kelompok mencapai kebuntuan dan tidak mampu menyelesaikan perbedaan-perbedaan di antara mereka melalui negosiasi langsung. Dalam kasus ini, mereka dapat berpaling ke pihak ketiga untuk membantu mencari solusi. Ada 4 peran pokok pihak ketiga :
           a)   Mediator
Pihak ketiga bersikap netral yang memfasilitasi negosiasi solusi dengan menggunakan penalaran dan persuasi, menyodorkan alternative dan semacamnya.
      b)  Arbitrator
Pihak ketiga memiliki wewenang untuk menentukan kesepakatan. Bisa bersifat sukarela maupun paksaan (berdasarkan kontrak atau undang-undang yang berlaku). Wewenang arbitrator beragam sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh para perunding.
Kelebihan arbitrasi daripada mediasi adalah bahwa arbitrasi selalu menghasilkan penyelesaian entah win-win solution maupun kemenangan di salah satu pihak yang berunding. Namun dapat menimbulkan konflik dikemudian hari.
      c)  Konsilitator
Pihak ketiga dipercaya membangun relasi komunikasiinformal antara perunding dengan lawannya. Dalam prakteknya, konsiliator tidak hanya sebagai saluran komunikasi namun juga terlibat dalam pencarian fakta, penafsiran pesan, membujuk pihak-pihak yangbersengketa untuk membangun kesepakatan
      d)  Konsultan
Pihak ketiga yang terlatih dan tak berpihak yang berupaya memfasilitasi pemecahan masalah melalui komunikasi dan analisis dengn dibantu oleh pengetahuan mereka mengenai menajemen konflik. Peran konsultan memperbaiki hubungan antara pihak-pihak yang berkonflik sehingga dapat mencapai penyelesaian sendiri. Pendekatan ini membutuhkan jangka waktu yang panjang karena membangun persepsi dan sikap yang baru dan positif antara pihak-pihak bersengketa.


 Sumber : Stephen P.Robbins-Timothy A.Judge. Organizational Behavior. 2008

0 komentar:

Post a Comment