Thursday, March 31, 2016

Tinjauan Tentang Drainase dan Banjir di Kota Semarang

Oleh : Suwandi

Banjir atau terjadinya genangan di perkotaan masih banyak terjadi di berbagai kota di Indonesia. Genangan tidak hanya dialami oleh kawasan perkotaan yang terletak di dataran rendah saja, bahkan dialami kawasan yang terletak di dataran tinggi. Banjir yang seringkali terjadi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah tingginya intensitas hujan; belum tersedianya sarana drainase yang memadai; penggunaan saluran yang masih untuk berbagai tujuan (multipurpose) baik untuk penyaluran air hujan, limbah, dan sampah rumah tangga yang tidak diimbangi oleh air penggelontoran yang dialirkan; dan adanya fasilitas bangunan bawah tanah (pipa PAM, kabel Telkom, dan PLN) yang kedudukannya sangat mengganggu saluran drainase yang ada.

Banjir atau genangan di suatu kawasan dapat juga terjadi apabila sistem yang berfungsi untuk menampung genangan itu tidak mampu menampung debit yang mengalir, hal ini akibat dari tiga kemungkinan yang terjadi yaitu : kapasitas sistem yang menurun, debit aliran air yang meningkat, atau kombinasi dari kedua-duanya. Pengertian sistem disini adalah sistem jaringan drainase di suatu kawasan. Sistem drainase secara umum dapat didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan /atau membuang kelebihan air (banjir) dari suatu kawasan atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal, jadi sistem drainase adalah rekayasa infrastruktur di suatu kawasan untuk menanggulangi adanya genangan banjir (Suripin, 2004).

Banjir yang terjadi di Kota Semarang pada umumnya disebabkan karena tidak terkendalinya aliran sungai, akibat kenaikan debit, pendangkalan dasar badan sungai dan penyempitan sungai karena sedimentasi, adanya kerusakan lingkungan pada daerah hulu (wilayah atas kota Semarang) atau daerah tangkapan air (recharge area) serta diakibatkan pula oleh ketidakseimbangan input –output pada saluran drainase kota. Cakupan banjir saat ini telah meluas di beberapa kawasan di Kota Semarang, yang mencakup sekitar muara Kali Plumbon, Kali Siangker sekitar Bandara Achmad Yani, Karangayu, Krobokan, Bandarharjo, sepanjang jalan di Mangkang, kawasan Tugu Muda – Simpang Lima sampai Kali Semarang, di Genuk dari Kaligawe sampai perbatasan Demak (Pemkot Semarang, 2011). Persoalan lain yang sering muncul adalah terjadi air pasang laut (Rob) di beberapa bagian di wilayah perencanaan yang menjadi langganan genangan akibat rob. Saluran drainase yang mestinya menjadi saluran pembuangan air ke laut berfungsi sebaliknya (terjadi Backwater), sehingga sistem drainase yang ada tidak dapat berjalan dengan semestinya. Hal ini menjadi lebih parah bila terjadi hujan pada daerah tangkapan dari saluran-saluran drainase yang ada. Sehingga terjadi luas genangan yang semakin besar dan semakin tinggi.

                        Sumber: The Space Arrangement Map Of Semarang, 1999
Berdasarkan data dari The Space Arrangment Map of Semarang, pada tahun 1999 Kota Semarang memiliki kawasan genangan dengan total 10553 ha yang terdiri dari kawasan rob seluas 1346 ha, dan kawasan banjir seluas 9207 ha. Kemudian, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Soedarsono tahun 2012 menunjukkan bahwa, antara tahun 1996 sampai tahun 2010 terjadi penambahan genangan seluas 29,62 ha. Dengan adanya penambahan genangan tersebut mengakibatkan terjadinya kerusakan infrastruktur permukiman antara lain: jalan aspal (37,10%), jalan beton (26,20%), jalan dengan paving block (22,50%) dan saluran drainase (23,90%). Secara komulatif genangan berpengaruh terhadap kerusakan infrastruktur permukiman sebesar 20%, sedangkan sisanya diakibatkan oleh unsur lain.

Saat ini sistem drainase sudah menjadi salah satu infrastruktur perkotaan yang sangat penting. Kualitas manajemen suatu kota dapat dilihat dari kualitas drainase yang ada. sistem drainase yang baik dapat membebaskan kota dari genangan air yang menimbulkan dampak bagi lingkungan. Drainase di wilayah perkotaan berfungsi untuk mengendalikan kelebihan air permukaan, sehingga tidak mengganggu masyarakat dan dapat memberikan manfaat bagi kegiatan kehidupan manusia. Fungsi drainase perkotaan secara umum adalah:
1.                Mengeringkan bagian wilayah kota dari genangan sehingga tidak menimbulkan dampak negatif.
2.                Mengalirkan air permukaan ke badan air penerima terdekat secepatnya.
3.       Mengendalikan kelebihan air permukaan yang dapat dimanfaatkan untuk persediaan air dan kehidupan akuatik.
4.                 Meresapkan air pemukaan untuk menjaga kelestarian air tanah (konservasi air).
5.                  Melindungi prasarana dan sarana yang sudah terbangun.

Penanganan sistem drainase Kota Semarang, terbagi atas dua karakteristik wilayah yaitu penanganan daerah atas dan penanganan daerah bawah. Penanganan daerah atas terbagi ke dalam beberapa pelayanan DAS, yaitu DAS Babon, DAS Banjir Kanal Timur, DAS Banjir Kanal Barat, DAS Silandak/Siangker, DAS Bringin, DAS Plumbon. Sementara bagian bawah terbagi ke dalam empat sistem drainase, yaitu : (1) Semarang Tugu dimana Wilayah ini terletak diantara Kali Blorong dan Kali Silandak. Saluran drainase utama yang ada dalam wilayah ini antara lain Kali Mangkang, Kali Tapak, Kali Boom Anyar, Kali Tugu dan Kali Jumbleng. (2) Semarang Barat. yang terletak diantara Kali Silandak dan Banjir Kanal Barat. Saluran drainase utama yang ada dalam wilayah ini antara lain Kali Siangker, Kali Ronggalawe, Kali karang Ayu dan Kali Tawang Sari, ketiga saluran tersebutdisalurkan ke Banjir Kanal Barat. (3) Semarang Tengah. yang terletak diantara Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur. Saluran drainase utama yang ada dalam wilayah ini antara lain Saluran Bulu, Kali Semarang, Kali Baru dan Kali Banger. Kali Baru Saat ini berfungsi sebagai pelabuhan tradisional, beberapa saluran drainase kota seperti Saluran Bandarharjo dan Ronggowarsito bermuara ke Kali Baru. Pada bagian selatan terdapat Saluran Sriwijaya yang berfungsi untuk menyalurkan air dari daerah atas (Candi Baru) menuju Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal Barat. dan (4) Semarang Timur. yang terletak diantara Banjir Kanal Timur dan Kali Babon. Saluran drainase utama yang ada dalam wilayah ini antara lain Kali Tenggang dan Kali Sringin.

Sistem drainase yang buruk menjadi penyebab utama banjir di Kota Semarang. Dari enam kecamatan langganan banjir, sebagian besar disebabkan karena saluran air tidak ada, saluran tersumbat sampah, dan akibat bangunan yang mengganggu saluran. Dari penyebab banjir tersebut, faktor sistem drainase yang buruk memberi kontribusi terbesar. Sistem drainase yang buruk inilah yang menyebabkan banjir lokal di Semarang. Sistem drainase yang buruk menyebabkan aliran air tidak lancar sehingga terjadi genangan setiap kali hujan deras. Sebagian besar saluran drainase utama Kota Semarang, baik yang alamiah maupun buatan, dibagian hilir mempunyai elevasi saluran lebih rendah dari pada elevasi dasar muara/pantai. Hal ini menyebabkan sedimentasi serius dan menimbulkan pendangkalan. Sistem drainase utama yang ada, sebagian besar belum mempunyai garis sempadan yang jelas dan belum diperdakan hal ini menimbulkan kerancuan dalam upaya pengelolaan dan pengawasan bangunan liar di sepanjang tepi sungai, dan biaya 'resettlement' sangat tinggi pada waktu pelaksanaan normalisasi sungai yang bersangkutan (Puslitbang Kimpraswil Kota Semarang, 2002).

                         Sumber: Puslitbang Sumber Daya Air. 2004

Ada 2 wilayah besar di Kota Semarang yang seringkali terkena dampak yang besar jika terjadi banjir yaitu kawasan Semarang Utara dan Semarang Timur. Sistem Drainase di Kecamatan Semarang Utara termasuk dalam Sistem Drainase Semarang Tengah. Sistem drainase utama diwilayah ini adalah sistem drainase Bulu, Kali Semarang, Kali Baru, dan Kali Banger. Berdasarkan DAS Semarang Tengah terbagi dalam beberapa sub sistem, yaitu seperti tabel berikut:

Sub Sistem
Sungai
Luas Das (ha)
Kapasitas Existing (m3/dtk)
Panjang (m)
Kali Banjir Kanal Barat
Banjir Kanal Barat
145,00
609
5300
Kali Bulu
Saluran Bulu
93,57
4
5090
Kali Asin
Kali Asin
281,35
5
1120
Kali Semarang
Kali Semarang
576,28
28
6750
Kali Baru
Kali Baru
185,55
9
750
Kali Banger
Kali BAnger
523,79
11
6750
                   Sumber : TD Wismarini.2011.

Berdasarkan tabel di atas, ada beberapa permasalahan utama yang muncul sebagai penyebab dari banjir yang sering terjadi di Kota Semarang khususnya wilayah Semarang Utara. Kondisi saluran drainase yang lebih kecil (sekunder, tersier, dan seterusnya) juga tidak kalah memprihatinkan. Kapasitas saluran makin hari makin menurun akibat sedimentasi, sampah, dan pemeliharaan yang kurang. Tidak mengherankan jika sampai saat ini masalah banjir kiriman dan banjir pasang merupakan masalah yang belum terpecahkan. Genangan banjir masih selalu terjadi, terutama pada saat musim hujan. Bahkan di beberapa daerah terjadi genangan permanen akibat rob. Hal ini akan semakin sulit di atasi jika pengembangan drainase kota tidak dapat dilakukan dengan baik.

Selain itu, kondisi drainase semakin parah dikarenakan partisipasi masyarakat yang rendah untuk menjaga drainase di lingkungan mereka. Perilaku buruk membuang sampah sembarangan di saluran-saluran drainase menjadikan kondisi drainase kota saat ini sangat memprihatinkan. Pengelolaan drainase tidak bisa diberikan secara penuh kepada pemerintah, harus ada peran serta masyarakat dalam menjaga saluran drainase. Kondisinya saat ini Masyarakat ditepi sungai masih menganggap sungai bagaikan bak sampah raksasa. Semuanya mulai dari sampah rumah tangga sampai kasurpun dibuang di sungai. Padahal di negara maju, sungai yang membelah di tengah kota seperti Sungai Thames di London, Rhijn di Belanda dan lainnya digarap dengan serius serta dijaga kebersihannya. Sehingga sungai menjadi indah serta dapat dinikmati untuk arena rekreasi.


Referensi

http://bagus-nuari.blogspot.com/2011/06/semarang-in-proges.html
Pemerintah Kota Semarang. 2001. Profil Kabupaten dan Kota Semarang.
Suripin. (2004). Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan, Penerbit Andi,
Jogyakarta.

TD Wismarini.2011.Metode perkiraan laju aliran puncak (debit air) sebagai dasar analisis sistem drainase di daerah aliran sungai wilayah semarang berbantuan SIG (www.unisbank.ac.id/ojs/index.php/fti1/article/download/359/236)

Soedarsono.2012.Amblesan Tanah di muara Kali Semarang Berpengaruh Terhadap Luas Genangan dan Kerusakan Infrastruktur Pemukiman

Rosyid Ridho.2010.Harus Diikuti Normalisasi Saluran dalam http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/04/05/51080

Peraturan daerah kota semarang nomor 14 tahun 2011 tentang rencana tata ruang wilayah kota semarang tahun 2011 – 2031

Tinjauan Kritis Kewenangan, Kelembagaan dan Keuangan Otsus Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Papua

Oleh : Suwandi 

Tujuan dari penyelenggaraan otonomi khusus pada dasarnya adalah untuk kesejahteraan masyarakat papua disamping tujuan-tujuan lain yang mengikutinya. Untuk mencapai hal tersebut, manajemen kewenangan, kelembagaan dan keuangan diatur sedemikian rupa untuk tercapainya percepatan pembangunan di tanah Papua. Berikut adalah tinjauan atas aspek-aspek tersebut :

Masalah Kewenangan dan Kelembagaan Masih Suram

Cerita untuk otsus Papua masih buram. Tak pernah ada kejelasan tentang desain besar otsus Papua. Kebijakan yang muncul setelah otsus justru membuat jalan mencapai otsus kian jauh. Melalui UU otsus Papua, pemerintah mendelegasikan kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah disertai kucuran dana yang juga sangat besar. Dana puluhan triliun rupiah ini di luar dana lain seperti APBD dan dekonsentrasi. Pemerintah juga baru saja mencanangkan kebijakan khusus untuk Papua melalui dua peraturan presiden (perpres) yang ditandatangani 20 September 2011. Pertama, Perpres Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Kedua, Perpres Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Perpres itu dilengkapi dokumen rinci berjudul Rencana Aksi yang Bersifat Cepat Terwujud Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun 2011-2012.

Langkah pemerintah membentuk UP4B menurut Julian Pasya[1], sebagai upaya pendekatan kesejahteraan bagi penyelesaian persoalan Papua. Jika benar demikian, mengapa Kepala UP4B seorang jenderal? Selain itu, setiap kali ada persoalan di Papua, mengapa Menko Polhukam, Kapolri, dan BIN yang dikirim ke Papua? Mengapa bukan Menko Kesra, Mendikbud, atau Menkes? Pertanyaan ini seolah menegaskan bahwa ada ketidakberesan dalam upaya pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat Papua.

Bagaimana mungkin membayangkan kesejahteraan yang dijanjikan untuk Papua diucapkan dari mulut seorang tentara? Ini indikasi bahwa belum ada upaya serius menciptakan kesejahteraan di Papua. Problema itu muncul salah satunya karena persoalan identitas di Papua belum tuntas. Dana otsus sejak 2002 tak hanya gagal menghentikan tuntutan merdeka, tetapi justru menyebar di tingkat publik. Jika dulu merdeka hanya tuntutan elite, sekarang menjadi menu obrolan di tingkat rakyat.

Seperti yang dikemukakan oleh Bayu Darsias[2], wewenang yang mengatur tentang Papua justru menimbulkan masalah baru terkait perebutan wewenang atau saling lempar tanggung jawab. Pembentukan PP sebagai tindak lanjut UU otsus sangat lambat. Selain itu, perdasus dan perdasi penting juga gagal dibuat. Jakarta menunjuk Papua tak becus memanfaatkan limpahan kewenangan, Papua menunjuk Jakarta karena tak serius menerbitkan aturan pelaksanaan.

Thus, di Jakarta, tak bisa ditemukan pemerintah pusat. Ketika muncul masalah Papua, tak jelas pembagian kewenangan antara UP4B, Kemendagri, Desk Papua di Menko Polhukam, staf khusus Velix Wanggai, atau utusan khusus Farid Husain. Seluruh lembaga ini tak saling sapa dan duduk bersama mendiskusikan persoalan Papua. Justru aparat keamanan yang dikirim. Satu lagi bahwa memang ada masalah serius dalam hal pembagian kewenangan dan kelembagaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan di tanah Papua.

Persoalan tidak berhenti disitu, Persoalan wewenang juga muncul antara provinsi dan kabupaten/kota: tergantung mana paling menguntungkan. Provinsi berpegang pada UU Otsus, kabupaten/kota merujuk ke UU 32/2004. Sebabnya, materi UU otsus kurang lengkap dan tak ada peraturan pelaksanaannya. Pembentukan lembaga yang berkaitan dengan adat di Papua juga justru menimbulkan masalah baru dan menjadi arena politik elite. Penundaan pilkada gubernur Papua disebabkan oleh penafsiran UU Otsus yang dinilai mengambil wewenang KPUD. Kata ”orang asli Papua” akan selalu menimbulkan persoalan. Tindakan afirmatif ras Melanesia justru bertentangan dengan semangat kewarganegaraan yang seharusnya menjadi dasar pembentukan negara modern.

Intinya adalah persoalan terkait kewenangan dan kelembagaan di dalam praktek otsus harus segera dicarikan titik temu, bagaimana desain terbaik agar tercapai sinergitas antara pemerintah daerah, pemerintah pusat serta lembaga ad hoc yang ada bisa terjalin dengan baik. Agar kesejahteraan yang dicita-citakan masyarakat Papua dapat terwujud.

Dana Otsus Papua dan Implikasinya Terhadap Kesejahteraan  

Otonomi khusus yang berlaku di Papua sejak 2001 tidak berjalan sesuai harapan masyarakat asli disana. Masih banyak penyimpangan disana-sini. Akibatnya tidak ada perkembangan di sana, masyarakat Papua sering merasa tak pernah menikmati hasil tanah kelahirannya.

Tahun 2012, Pemerintah dan DPR sepakat mengalokasikan dana otonomi khusus atau otsus untuk Provinsi Papua sebesar Rp 3,83 triliun dan Papua Barat sebesar Rp 1,64 triliun pada tahun 2012. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2012 yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR. Dana Otsus Papua pada 2012 itu naik sekitar 23 persen dibanding tahun 2011. Pada tahun ini, pemerintah menganggarkan Rp 3,10 triliun untuk Papua dan Rp 1,33 triliun untuk Papua Barat. Selain dana otsus, pemerintah juga akan mengalokasikan dana tambahan infrastruktur untuk Papua sejumlah Rp 571,4 miliar dan Papua Barat sebanyak Rp 428,6 miliar.[3]

Kini, pertanyaan mengenai penyaluran dana Otsus Papua pun semakin terdengar dimana-mana. Dana otsus Papua sejak 2002 hingga 2011 sudah dicairkan pemerintah pusat mencapai kurang lebih Rp33,1 triliun kepada Provinsi Papua dan Papua Barat. hingga tahun 2010 BPK baru melakukan audit sebesar 66,27% dari keseluruhan dana tersebut (atau baru sebesar Rp19,1 triliun). Dan dari proses audit yang dilakukan telah menemukan ada indikasi penyelewengan Rp319 miliar. Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan siap untuk mengusut dugaan penyelewangan dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua tersebut. Tapi sampai saat ini tidak ada realisasi aka hal itu, pemerintah terlalu takut dengan berbagai ekses yang mungkin terjadi. Tidak ada ketegasan sehingga keadaan ini seolah dibiarkan begitu saja tanpa ada langkah memperbaiki.

Dana otsus yang sebesar itu nyatanya belum mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat Papua. Hingga saat ini, saya berani jamin, Otsus tidak banyak membawa perubahan derajat kehidupan untuk masyarakat Papua. Masyarakat mendengar tentang Otsus, dana Otsus dan janji-janji perbaikan kesejahteraan tetapi mereka tidak pernah merasakan manfaatnya. Poin-poin penting dalam UU Otsus seperti pemenuhan hak-hak mendasar orang Papua tidak dibarengi dengan penafsiran yang jelas dan detail sehingga mandeg dalam impelementasi. Penggelontoran dana langsung, menurut beberapa tokoh, justru kontraproduktif terhadap masyarakat. Dana tersebut (dalam bentuk tunai) habis untuk konsumsi dan bukan untuk mengembangkan perekonomian mereka. Karena mengharapkan dana tunai tersebut masyarakat mematikan potensi inovasi dan kewirausahaan mereka. Sementara dana yang benar-benar terarah untuk pengembangan perekonomian kerakyatan belum tampak hingga saat ini.

Pada beberapa hal, memang ada pembangunan di Papua. Tetapi proyek-proyek pembangunan tersebut hanya memperbesar cash outflow bukan  cash inflow, karena miskin output yang benar-benar berasal dari Papua. Inefesiensi itu selama ini memang tidak terlihat karena lagi-lagi bisa tertutup dengan dana Otsus yang besar.[4] Terlepas dari itu, tentu saja tetap ada pihak yang diuntungkan dengan adanya Otsus ini. Sebagian besar elit birokrat Papua sebagai pihak yang diuntungkan dengan adanya Otsus ini. Lebih luas lagi termasuk mereka yang terlibat dalam kebijakan ini seperti DPRP, pemerintah kabupaten hingga aparat tingkat bawah. Besarnya alokasi dana Otsus untuk birokrasi pada tahun-tahun awal pelaksanaan Otsus adalah salah satu alasan kenapa mereka menunjuk elit birokrat lokal. Ditambah lagi dengan banyaknya alokasi dana Otsus yang dinilai kurang jelas dan untuk proyek-proyek yang tidak pernah dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat.

Selain elit birokrat lokal, pemerintah pusat juga diuntungkan dengan Otsus ini. Menurut mereka, setelah memberikan Otsus, pemerintah pusat seolah bisa lepas tangan dan menganggap permasalahan Papua telah selesai. Pemberian Otsus memperkuat posisi politik Jakarta terhadap Papua. Pemerintah pusat sekarang punya alasan logis untuk menindak setiap gerakan yang dianggap berpotensi menumbuhkan disintegrasi di Papua sebab Otsus telah diberikan. Beberapa tokoh juga menunjuk pihak swasta juga meraup untung dari Otsus ini. Selain dari proyek-proyek yang diberikan oleh pemerintah mereka juga mendapatkan peluang dari kewenangan kultural yang didapatkan kembali oleh kepala suku (Ondoafi) terhadap tanah ulayat. Realitas ini terasa kontraproduktif tetapi kenyatan itulah yang terjadi. Beberapa pihak swasta dengan mudah mendapatkan tanah ulayat untuk kepentingan usaha setelah melakukan pendekatan dengan kepala suku yang justru tidak mendapatkan proteksi dari pemerintah. Sedangkan rakyat papua merana.

Intinya adalah, Dana otsus yang demikian besar setelah lebih dari sepuluh tahun tak berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan yang signifikan. Indeks Pembangunan Manusia dan seluruh indeks capaian MDG Papua tetap berada di peringkat terbawah.. Menariknya, dana otsus tetap disalurkan. Bahkan meningkat pada tahun 2012.  Di tingkat pemerintah pusat, tak ada keseriusan menyelisik dana otsus. Temuan BPK ada penyelewengan dana otsus, tak pernah diusut tuntas. Bagi elite Papua, dana otsus dianggap uang mahar dan uang darah: tak perlu dipertanggungjawabkan. Baik pemerintah pusat maupun elite Papua sepakat, dana otsus tak perlu diusik karena itulah sumbangan NKRI agar Papua tak merdeka.



[1] Kompas, edisi 28  Juni  2012
[2] Ketua Tim Kajian Otsus Aceh Papua Fisipol UGM-TIFA 2012 (Kompas, 3 Juli 2012)
[3] Kompas.com, 28 Oktober 2011 / dana otsus papua 2012 naik
[4] Antaranews.com  18 juni 2012/otsus papua perlu pendekatan kesejahteraan  

Sorotan Tentang Pembangunan Berbasis Gender - Buletin Fasttrack MAP UNDIP Juni 2012

Tulisan dalam buletin ini adalah tulisan lama yang saya buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pembangunan di Magister Administrasi Publik UNDIP. sedikit lupa sebetulnya, karena file ini juga saya temukan nggak sengaja waktu bersih2 file di hardisk....hehe Dosen pengampunya kalo nggak salah Dr. Ari Pradanawati, tugasnya waktu itu kami diminta untuk membuat tulisan dari beberapa topik yang sudah disiapkan. (saya memilih topik "pembangunan berbasis gender"). dari topik tersebut kami harus membuat 5 buah tulisan yang memuat berbagai jenis tulisan seperti opini, biografi dan lain-lain. kami harus membuatnya dalam bentuk buletin dan dalam waktu 2 minggu. jelek banget hasilnya..hahaha 





Pembaharuan Desa : Langkah Menuju Kesejahteraan


Oleh : Suwandi

Pembaharuan desa sebenarnya bukan barang baru. Pemerintah Orde Baru, misalnya, sejak awal 1970-an telah mengambil sejumlah langkah kebijakan yang drastis untuk melakukan pembaharuan atau perubahan terhadap wajah desa. Kebijakan pembangunan desa secara terpadu yang dilancarkan antara lain melalui gerakan revolusi hijau, program penanggulangan kemiskinan, program Inpres Desa, maupun program-program bantuan lain. Para kepala desa di zaman Orde Baru mengatakan bahwa semua departemen di Jakarta, kecuali Departemen Luar Negeri, mempunyai program pembangunan di tingkat desa. Orang tidak bisa menghitung lagi berapa jumlah dana yang dialokasikan ke desa. Semua program pembangunan desa terpadu ini secara umum dimaksudkan untuk mengangkat derajat hidup orang desa, mengubah wajah desa yang terpencil, memperbaiki prasarana fisik desa, membuka akses transportasi dan transaksi ekonomi, memberikan layanan dasar bagi orang desa, memerangi kemiskinan dan kebodohan, membuat desa menjadi modern, dan lain-lain.

Sekarang, di era baru, berbagai catatan kritis terhada pengelolaan desa masa lalu telah bertebaran di setiap tempat, yang kemudian melahirkan gagasan pemberdayaan masyarakat maupun pembaharuan desa. Keduanya merupakan gagasan baru yang paralel, meski titik tekan antara pemberdayaan dan pembaharuan bisa berbeda. Sasaran pemberdayaan adalah masyarakat, yang di dalamnya mewadahi warga secara individual maupun komunitas secara kolektif. Pemberdayaan adalah upaya membangkitkan kekuatan dan potensi masyarakat yang bertumpu pada komunitas lokal melalui pendekatan partisipatif dan belajar bersama. Sementara sasaran pembaharuan adalah desa, sebagai sebuah entitas kolektif yang mengandung proses relasi ekonomi-politik antar aktor di desa, governance system dalam desa maupun relasi atau posisi ekonomi-politik desa di hadapan struktur supradesa yang lebih tinggi. Pembaharuan desa adalah sebuah upaya yang berkelanjutan untuk mengawal perubahan relasi ekonomi-politik desa secara internal maupun eksternal, menuju tatanan kehidupan desa baru yang lebih demokratis, mandiri dan adil. Dari sisi strategi, pendekatan dan proses, pemberdayaan merupakan gerakan dan pendekatan berbasis masyarakat lokal maupun bertumpu pada kapasitas lokal, yang notabene bisa dimasukkan ke dalam kerangka pembaharuan desa. 

Pembaharuan desa juga bisa dikatakan sebagai upaya untuk menjawab ketimpangan ekonomi-politik, baik secara internal maupun eksternal, di level desa. Untuk menjawab ketimpangan ekonomi-politik itu tentu butuh kerangka desentralisasi dan demokratisasi, baik dari sisi ekonomi-pembangunan maupun politik-pemerintahan. Desentralisasi adalah bingkai preskriptif relasi eksternal antara desa dengan supradesa (kecamatan, kabupaten, provinsi dan pusat) serta pasar. Desentralisasi telah mengajarkan bahwa kekuasaan, kewenangan, tanggungjawab dan sumberdaya harus dibagi sampai ke level bawah, yakni sampai ke tingkat desa. Sedangkan demokrasi merupakan kerangka preskriptif relasi internal dalam desa, yakni relasi yang demokratis antara pemerintah desa, Badan Perwakilan Desa (BPD) dan masyarakat.

Pembaharuan desa tidak mungkin membuahkan hasil secara instan. Yang lebih penting, pada tahap awal, harus dibangun proses berkelanjutan untuk mencapai sasaran ideal tersebut. Proses itu tidak lain adalah sinergi antara kebijakan pemerintah dan gerakan masyarakat. Pertama, masyarakat desa harus mulai belajar secara kritis dan berwawasan ke depan, untuk mengenali dirinya sendiri dan menempa kapasitas lokal. Jangan sampai masyarakat desa terjebak dalam pragmatisme, konservatisme, ritualisme, formalisme, dan rutinitas yang membuat mereka terkungkung dalam ketimpangan. Kedua, menyebarluaskan wacana pembaharuan desa ke semua level, baik di kalangan perguruan tinggi, LSM, pemerintah dan juga masyarakat desa sendiri. Ketiga, mendorong pemerintah (termasuk pemerintah daerah) lebih responsif dalam belajar dan membuat kebijakan yang aspiratif terhadap desa serta mendukung pembaharuan desa. Keempat, memperkuat jaringan ekstradesa (LSM, perguruan tinggi, media, dan lain-lain), sebagai kekuatan katalisator atas proses belajar masyarakat desa, penyebarluasan gagasan pembaharuan desa dan advokasi terhadap kebijakan pemerintah.

Saturday, March 19, 2016

Peran Orangtua dalam Pendidikan anak


Miris mungkin adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi generasi muda saat ini. Hampir setiap hari kita bisa melihat di berbagai media kasus-kasus kejahatan fisik maupun seksual yang melibatkan anak-anak indonesia. Anak-anak ini bukan hanya sebagai korban melainkan juga sebagai pelaku kejahatan. Singkatnya, generasi muda indonesia saat ini tengah mengahadapi krisis akhlak, karakter serta kepribadian. Dalam hal ini barangkali sebagian besar dari kita sepakat bahwa pendidikan adalah pihak yang paling bertanggungjawab pada kondisi krisis ini. Karena memang sistem pendidikan diciptakan untuk tujuan membentuk akhlak serta karakter generasi muda yang lebih baik.

Sayangnya, saat ini sekolah sebagai institusi yang diberikan mandat sebagai tempat pembentukan karakter tersebut kini telah kehilangan orientasi yang semestinya. Sebagian besar sekolah seolah-olah memerankan dirinya hanya sebagai sebuah perusahaan jasa. Seperti layaknya sebuah perusahaan, sekolah hanya fokus untuk memproduksi manusia-manusia “pintar” dan mendapatkan keuntungan dari aktivitas produksinya tersebut. akibatnya, Fokus sekolah lebih banyak mengarah pada aspek kognitif anak dan cenderung menihilkan aspek akhlak dan kepribadian. Maka, tidak heran jika dewasa ini sering kita jumpai kabar di media yang memberitakan berbagai kasus kejahatan fisik maupun seksual justru terjadi di lingkungan sekolah. Lalu, jika sekolah dianggap gagal dalam pembentukan karakter generasi muda saat ini, siapa yang kemudian harus berperan? 

Seperti yang kita pahami bahwa pendidikan adalah sebuah sistem yang terdiri dari berbagai subsistem. Untuk berjalannya sebuah sistem ini maka subsistem-subsistem tersebut harus saling mendukung satu sama lain. Sekolah adalah salah satu subsistem di dalam pendidikan. Selain sekolah ada subsistem lain yang berperan didalam pendidikan yaitu keluarga dan lingkungan. Dalam hal pembentukan karakter, keluarga sebetulnya adalah subsistem yang paling besar perannya. Akan tetapi di era modern ini, fungsi keluarga sebagai madrasah akhlak bagi seorang anak seperti terpinggirkan dengan sendirinya. Banyak keluarga yang seolah-olah mendelegasikan begitu saja perannya di dalam pendidikan anak kepada sekolah. Padahal keluarga memiliki fungsi yang sangat penting pada pembentukan karakter seorang anak. Orangtua adalah lingkungan pertama dan utama dimana anak berinteraksi, artinya disinilah dimulai suatu proses pendidikan. Sehingga orang tua berperan sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Lingkungan keluarga juga dikatakan lingkungan yang paling utama, karena sebagian besar kehidupan anak berada di dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dalam keluarga. Oleh karena itu, orang tua tidak boleh menganggap bahwa pendidikan anak hanyalah tanggung jawab sekolah. 

Peran keluarga di dalam mendidik akhlak serta karakter putra-putrinya harus dipahami oleh para orangtua sebagai prioritas yang harus dilakukan daripada menyerahkan sepenuhnya pendidikan itu kepada sekolah. Pendidikan karakter harus dimulaii dari rumah, orangtua harus mulai berperan sebagai pendidik. Sebagai pendidik orangtua harus menjadi teladan bagi anak-anaknya karena pendidikan yang efektif itu bukan berasal dari bahasa tutur melainkan bahasa tubuh dengan perbuatan. Selain itu menanamkan nilai-nilai agama di dalam keluarga juga menjadi hal yang sangat penting. Pendidikan agama harus diberikan kepada anak sedini mungkin. Pendidikan agama yang diberikan bukan semata ritual tetapi berikut dengan nilai dan makna ritual itu sendiri, serta anak-anak harus diajarkan untuk mengembalikan standar baik dan buruk kepada prinsip-prinsip agama 

Di era yang semakin maju ini, Jangan sampai menjadi orangtua yang berfikir bahwa mendidik itu in-stinktif, artinya jadilah orangtua yang mau belajar, setiap orangtua perlu belajar bagaimana seharusnya menjadi orangtua. Selain itu, orangtua juga harus gagah teknologi (melek teknologi) bukan sebaliknya, gagap teknologi. Karena dengan begitu orangtua bisa aktif mengawasi anak melalui media sosial maupun isi handphone anak. Hal ini penting untuk mengawasi sekaligus melindungi anak dari bahaya pornografi yang marak saat ini. Dan yang terakhir adalah orangtua juga harus menjadi teman bagi anak. Artinya orantua harus belajar memahami perasaan anak dengan cara ikut aktif melibatkan diri jika anak sedang dalam masalah. 

Keluarga adalah madarasah pertama bagi anak, Ayah dan ibu adalah ujung tombak pendidikan karakter. sudah seharusnya di masa krisis akhlak generasi muda kita saat ini peran keluarga kembali dikedepankan.

Wednesday, March 9, 2016

Para Pendaki Amatir


Beberapa waktu yang lalu, teman saya anton share foto sandal refleksi yang dia pakai waktu naik gunung ungaran, konyol, aneh bin ajaib bukan, hahaha...dalam sejarah mungkin dia orang pertama yang mendaki gunung memakai sandal refleksi. (tolong bagi para pendaki, khususnya para pemula untuk tidak mencontoh hal tersebut. Percayalah..itu sangat menyakitkan. hal tersebut hanya dilakukan oleh orang2 yang sudah kenyang dengan penderitaan dunia yang fana ini dan para pecandu acara fear factor tingkat lanjut). Melihat postingan itu, Ingatan saya langsung putar balik jauh kebelakang saat kami teman2 kontrakan lagi seneng2nya naik gunung. Hampir semua gunung di jawa tengah sudah kami daki (bukannya sombong lho ya..hehe). Tapi biarpun sudah banyak gunung yang kami panjat, rasa-rasanya kami sama sekali belum layak disebut sebagai pendaki profesional. Alasanya sederhana, hampir semua pendakian yang kami lakukan tidak pernah kami rencanakan matang-matang, semua adalah buah dari keisengan. Kami lebih suka disebut sebagai pecinta alam daripada sebagai pendaki gunung. Karena memang minat kami sebetulnya bukan pada obsesi untuk menaklukan sebuah gunung tapi sekedar jalan-jalan dan menikmati alam selama pendakian. Jadi sebut saja kami para pendaki amatiran.

Pada dasarnya teman-teman kontrakan terdiri dari makhluk2 dengan aktivitas bejibun di kampusnya masing-masing. Mereka adalah para aktivis yang waktunya habis buat kegiatan organisasi, dan sebagian dari mereka adalah ujung tombak di organisasinya masing-masing. Aktivitasnya ya nggak jauh dari rapat, mimpin rapat dan nontonin orang rapat, hahaha... Beraktivitas dengan ritme yang padat kayak gitu pastinya bikin stress dong. Nahhh... Aktivitas naik gunung inilah yang biasanya kami pilih buat ngilangin stress itu. Karena tujuannya Cuma buat ngilangin stress, kadang waktu naik gunung juga luar biasa mendadak, untuk gunung2 yang jaraknya nggak terlalu jauh kayak gunung ungaran bahkan kadang cuma butuh beberapa jam buat sepakat trus akhirnya berangkat rame2.haha... perlengkapan yang dibawa juga seadanya. Hampir semua dari kami nggak ada yang punya alat-alat yang biasa dipake para pendaki profesional saat pendakian. Jangankan Tenda, sleeping bag, nesting, ransel carrier atau sepatu gunung, perlengkapan standar seperti senter saja yang kadar pentingnya itu luar biasa untuk penerangan saat berjalan malam hari di hutan, ala kadarnya. bahkan ada yang Cuma pakai senter HP (itu saya sendiri..haha). Prinsipnya yang penting bisa jadi penerang, minimal bisa lihat jalan dan bedain mana jalan mana jurang. Kami memang penganut aliran simple dan fungsional untuk pemakaian barang-barang (sebenarnya ini bahasa paling diplomatis dari kata "KURANG MODAL") :D

Bukan cuma soal senter, perlengkapan lain juga pastinya sama simple dan fungsionalnya (baca: kurang modal). Setelan kami sama sekali nggak mirip para pendaki gunung. Kalo kata anton.. Setelan kami lebih mirip mahasiswa yang mau nyari signal wifi gratisan malem2 di kampus buat donlot anime kesayangan (fyi, itu salah satu side activity kami juga, hehehe). Setelanya, celana bahan, kaos oblong bekas kepanitiaan sama jaket organisasi yang sedikit agak kegedean, ditambah tas ransel buat laptop sama sandal jepit sejuta umat (gak boleh sebut merk, nanti pada beli...sebut saja "burung walet"). Kira2 seperti itu setelan kami. Namanya juga para pendaki amatir. Selain itu, karena dalam pendakian itu kami jarang sekali bawa tenda atau sleepig bag, jadi kami jarang sekali camp diatas gunung. Biasanya kami berangkat dari base camp malam menjelang dinihari, kami hitung waktu kira2 kami bisa sampai puncak tepat saat sunrise. Di puncak sekitar 1 sampai 2 jam lalu turun lagi ke base camp.

Seperti yang saya tulis di awal, kami lebih suka disebut pecinta alam atau mungkin boleh juga dinaikan levelnya jadi penyayang alam. Kami suka alam dengan segala keindahannya. Mendaki gunung bagi kami bukan soal obsesi tapi refleksi. Saya sendiri sangat menikmati suasana gunung terutama di pagi hari. Bau daun dan batu yang basah kena embun itu seperti terapi yang bisa menjernihkan pikiran. Alasan lain kenapa kami lebih suka disebut sebagai penyayang alam adalah karena kami ingin mencintai dan menyayangi alam dengan perbuatan, kami tidak suka dengan sampah yang berserakan diatas gunung. oleh karenanya kami benci para oknum pendaki yang suka meninggalkan sampah diatas gunung. kami tidak ingin menjadi salah satu dari mereka. Sering kami temui para pendaki (yang tentu saja berpenampilan lebih profesional dari kami), bahkan dengan atribut pecinta alam, tanpa rasa bersalah menumpuk sampah di samping tenda-tenda mereka dan meninggalkannya begitu saja saat turun gunung. Bagi kami mereka hanya sebatas pendaki gunung, bagi mereka mendaki hanya sebatas urusan eksistensi diri, gunung dan segala isinya tidak benar-benar mereka cintai. Selain sampah, personally saya adalah orang yang sangat tidak nyaman dengan asap rokok. Seringkali saat sudah diatas puncak dipagi hari, dan puncak biasanya penuh dengan para pendaki (biasanya saat musim pendakian). Saya seringkali tidak bisa menikmati udara segar karena yang ada disekitar saya cuma kepulan asap rokok dari mulut para pendaki, seringkali saya harus turun sedikit menjauh dari udara yang menjengkelkan itu..I HATE THAT!!! Bagi saya udara yang segar diatas gunung adalah juga bagian dari terapi. Pemandangan dan udara segar adalah 2 hal yang saya cari.

Akhir-akhir ini memang sudah jarang sekali saya naik gunung bareng teman2, faktor kesibukan di tempat kerja barangkali yang jadi penyebab utamanya. Susah banget rasanya sekarang nyari waktu luang buat sekedar nyium bau basah dedaunan di dalam hutan atau liat mahakarya Allah yang maha agung berupa lanscape perbukitan dari puncak gunung. tapi, biarpun sudah jarang kami mendaki, buat kami para pendaki amatir, gunung dan segala cerita pendakianya adalah cinta yang akan selalu kami jaga.