Monday, February 15, 2016

Cirebon Kota Hijau 2018 - Bisakah?


Sejenak mari kita tinggalkan dulu pembahasan mengenai julukan Cirebon sebagai kota tilang yang saat ini lagi hitz di media-media online. Kita bahas julukan lain yang menjadi cita-cita pembangunan kota cirebon yaitu Cirebon kota Hijau 2018. perlu kita bersama ketahui, Salah satu visi di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Cirebon tahun 2013-2018 menyebutkan bahwa cirebon kota hijau ditahun 2018, penjelasanya adalah di tahun 2018 nanti cirebon menjadi kota yang rimbun, sejuk, bersih, dan hijau. Dengan visi ini, maka pembangunan kota Cirebon senantiasa berorientasi dan mempertimbangkan keseimbangan ekosistem dan pelestarian lingkungan hidup. Taman-taman kotanya tampak indah dan asri, jalan-jalannya bersih, trotoarnya tertata rapih, halaman kantor dan perumahan-perumahannya hijau. 

Jika melihat kondisi saat ini, nampaknya visi tersebut sulit untuk diwujudkan. Mari kita lihat secara lebih jauh. Jika kita membaca dokumen Rencana tata ruang dan wilayah kota cirebon tahun 2011 - 2031 akan kita dapati bahwa luas wilayah kota cirebon yang harus dialokasikan sebagai RTH adalah sebesar 30%. Sekarang mari kita lihat realitanya di lapangan, sampai dengan awal 2016 ini luas wilayah RTH di kota cirebon masih berkisar 9%, angka ini jelas masih jauh dari target yang ditetapkan di dalam dokumen RTRW. Bahkan jika kita cermati lebih dalam, bukannya bertambah, angka ini justru terus berkurang seiring dengan pesatnya pembangunan di wilyaha kota cirebon. Ada kesan bahwa pemerintah kota cirebon tidak serius untuk mewujudkan visi tersebut sampai tahun 2018 mendatang. Perencanaan pembangunan yang dibuat tidak diarahkan untuk mewujudkan visi cirebon kota hijau itu sendiri. Sebagai contoh misalnya gedung gedung pemerintahan, sekolah, hotel dan bangunan lain di cirebon banyak yang tidak menyediakan RTH. Selain itu, pohon-pohon di pinggir-pinggir jalan juga banyak yang ditebang seperti di jalan cipto dan sukalila, hasilnya pohon-pohon besar di jantung kota pun jumlahnya semakin sedikit dan hasilnya bisa kita rasakan sendiri. Cirebon menjelma menjadi kota yang gersang dan panas. Ini jelas bertolak belakang dengan visi "hijau" tersebut.  

Kita lihat aspek yang lainnya. Jika kita berkaca pada daerah lain yang concern pada pembangunan wilayah berbasis lingkungan, kita akan mendapati bahwa salah satu tolak ukur "hijau" nya sebuah kota adalah jumlah taman yang terdapat di kota tersebut. Sebut saja kota bandung dan surabaya. Jumlah taman yang tersedia di kota tersebut representatif dengan jumlah penduduk sehingga dapat dimafaatkan sebagai tempat berkumpul masyarakat di waktu senggang. Tidak hanya aspek kuantitas, dari segi kualitas juga amat penting dimana taman-taman yang dibangun haruslah nyaman dan membuat warga masyarakat betah untuk berlama-lama. Sayangnya pemerintah kota cirebon tidak benar-benar serius melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang perlu di adopsi. Sebetulnya banyak lahan tidur di wilayah kota cirebon yang bisa dimafaatkan menjadi RTH, merubah lahan tersebut menjadi taman misalnya. Akan tetapi, jangankan membuat taman baru, potensi taman yang ada pun tidak dikelola dengan serius, sebut saja taman krucuk yang ada di kecamatan kejaksan. Kondisinya saat ini sangat memprihatinkan. Bahkan tidak layak disebut sebagai sebuah taman, lampu yang remang-remang, penuh sampah dan ilalang tumbuh liar dimana-mana. Begitu juga dengan taman-taman lainnya, minim fasilitas dan sangat jarang diakses oleh masyarakat. Belum lagi persoalan sampah yang semakin banyak oleh karena jumlah penduduk yang terus meningkat. Akhirnya kita hanya bisa bertanya, Cirebon kota hijau 2018, bisakah? 

Dari sini kita bisa lihat bahwasanya visi untuk menjadi kota yang hijau adalah sebuah visi besar yang harus didukung oleh kemauan politik dan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Visi menjadi kota yang hijau selamanya berada diatas kertas dan tidak akan pernah terwujud jika tidak diimbangi dengan kerja keras dari semua pihak. Pemerintah harus membuat kebijakan yang mendukung terwujudnya visi tersebut, jangan kalah dengan kuasa modal. Pesatnya pembangunan di kota cirebon saat ini jangan sampai mengorbankan aspek lingkungan. Selain itu, masyarakat juga harus ambil peran dengan menjaga RTH yang ada. Kolaborasi yang harmonis antara berbagai pihak adalah jalan satu-satunya agar visi Cirebon kota Hijau dapat benar-benar terwujud.

-suwandi suwe

Sunday, February 14, 2016

Pilkada vs Produk Kepemimpinan yang Baik


Salah satu perubahan mendasar dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah di era otonomi daerah yaitu proses seleksi kepemimpinan eksekutif lokal tidak lagi dipilih dan ditentukan oleh DPRD, tapi langsung oleh rakyat. Output pilkada diharapkan pemimpin eksekutif lokal yang bisa memenuhi preferensi mayoritas masyarakat lokal dan mempercepat terbentuknya pemerintahan daerah yang lebih baik (good governance). Dengan begitu, dari sisi subtansi, pilkada diharapkan bisa melakukan proses seleksi pemimpin yang dinilai rakyatnya terbaik untuk melakukan perubahan-perubahan yang menjanjikan dan memberi manfaat kepada masyarakat luas.

Apakah gambaran lahirnya seorang pemimpin produk pilkada tersebut dalam prakteknya bisa diwujudkan? dalam kasus kepemimpinan kepala daerah di beberapa daerah seperti di Bandung, Surabaya, Bantaeng, Bojonegoro, Batang, Jembarana, sosok kepemimpinan kepala daerah di era otonomi daerah bisa mendobrak kemandekan pemerintahan dan menghasilkan contoh keteladanan

Namun, secara umum hampir di semua daerah proses pilkada belum melahirkan pemimpin yang bisa melakukan perubahan mendasar untuk mempercepat kemajuan daerah, bahkan ada kecenderungan dengan pilkada justru menimbulkan sejumlah persoalan yaitu;

Pertama, pilkada ternyata tidak ada hubungannya antara pemilih (konstituensi) dengan kompetensi. Seseorang calon kepala daerah walaupun dipilih dengan perolehan suara terbanyak tidak berarti menjadi kepala daerah yang memiliki kemampuan. Karena, dalam realitasnya proses rekrutmen pilkada, aspek kualifikasi kemampuan termarjinalkan oleh faktor popularitas, kemampuan finansial, dan parpol pengusung. Kedua, proses pengusungan calon dalam satu paket menimbulkan konflik karena formasinya bisa dilakukan secara beragam. Misalnya, kepala daerah diusung dari PDIP dan wakilnya dari kader Golkar. Bisa juga, calon kepala daerah dari parpol dan calon wakilnya dari birokrat. Jadi, dalam sistem satu paket, variasi pasangan bisa dari latar belakang yang berbeda. Ketiga, legitimasi calon terpilih rendah. Aturan main calon kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih dalam UU yang baru tidak mensyaratkan persentase jumlah dukungan. Sedangkan rata-rata calon terpilih menang dalam pilkada mendapat persentase suara tidak lebih dari 25%. Dengan fakta ini seorang kepala daerah bisa terpilih dengan modal dukungan hanya sekitar 25 % dari total pemilih, artinya 75 % pemilih sesungguhnya tidak memberikan dukungan terhadap kepala daerah terpilih. Keempat, ketimpangan dukungan politik dari DPRD. Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terpilih bisa berasal dari parpol yang tidak menguasai suara mayoritas di DPRD. Kelima, batas-batas kewenangan pejabat politik dan pejabat birokrasi tidak jelas, sehingga kekuasaan menjadi terpusat di kepala daerah. Akibatnya, urusan penyelenggaraan pemerintahan yang lazimnya menjadi kewenangan otoritas birokrasi, bisa diintervensi oleh kepentingan pejabat politik.

Model kepemimpinan kepala daerah di era otonomi daerah tidak hanya terbentuk dari sistem pilkada langsung, tetapi juga akibat sistem demokratisasi pemerintahan dan konsekuensi tuntutan good governance. Proses demokratisasi pemerintahan dan penerapan good governance menggeser model kepemimpinan pemerintahan yang semula kental dengan konsep memerintah, memberi perintah dalam arti to give orders. Di dalam perkembangan sekarang kepemimpinan pemerintahan lebih menekankan pada kiat mengajak, menggalang, memberdayakan, dan menggairahkan.

Pergeseran model kepemimpinan tersebut, seharusnya didukung sebuah kesadaran masyarakat sebagai pemilih untuk menempatkan dan memosisikan proses pemilihan kepala daerah bukan sekadar persaingan memperebutkan kekuasaan. Tapi secara subtantif harus memunculkan kepala daerah yang memiliki kemampuan memerintah dan bisa melakukan perubahan-perubahan yang lebih baik bagi kemajuan daerah dan masyarakatnya.

Jika pilkada berhasil digelar tapi gagal dalam memunculkan kepala daerah yang memilki kapasitas dalam mengelola pemerintahan ke arah perubahan yang lebih baik, maka kita jangan berharap banyak terhadap kemajuan masyarakat dan daerahnya. Oleh sebab itu, sudah saatnya ada pembelajaran politik bagi masyarakat agar bisa secara cerdas mendorong terjadinya proses seleksi calon kepala daerah yang mengedepankan aspek kemampuan dan memiliki keberpihakan untuk memajukan masyarakat dan daerahnya serta bersih dari korupsi.

-suwandi suwe

Welcome 2016 - Mari Menulis Lagi


okey... bisa dibilang kalo tahun 2014 dan 2015 kemarin adalah tahun paling tidak produktif untuk urusan menulis di blog. bayangin aja dari 24 bulan itu gw cuma nulis 8 artikel. payah banget kan...nggak tau kenapa, gairah menulis gw seolah-olah menguap seperti jemuran basah dimusim panas.. hehe
kalo ditanya kenapa sekarang kok jarang nulis note lagi?? jawaban gw sederhana. "gw lagi males nulis". ya gw memang lagi males nulis

tahun 2014 kemarin gw banyak berkutat dengan deadline thesis S2 gw yang harus selesai secepat-cepatnya. gw gak banyak punya kesempatan buat nulis hal-hal lain diluar tema tesis gw tentang anak jalanan di kota semarang yang bikin kepala gw jungkir balik. waktu gw habis buat penelitian dan penelitian. boro-boro mikir nulis di blog, makan aja kadang lupa. gimana enggak, gara-gara thesis gw yang gak selesai-selesai itu gw harus bayar uang kuliah sendiri karena jatah beasiswa gw habis di tahun itu. tapi alhamdulillah Agustus 2014 thesis gw selesai dan oktober 2014 gw bisa wisuda. nahh pasca wisuda sebetulnya gw banyak punya kesempatan buat nulis, tapi ya..yang namanya males memang nyerang gak kenal waktu. pasca wisuda gw kayak alergi sama dunia tulis menulis gara-gara si thesis, alhasil sampe akhir tahun 2014 nggak ada karya tulisan yang gw bikin selain CV sama surat lamaran kerja.
sedangkan tahun 2015 adalah yang terburuk dari semuanya. padahal harusnya gw bisa bikin lebih banyak karya tulis di tahun kemarin. karena kerjaan gw sebetulnya deket banget sama yang namanya tulis menulis. gw ngajar di universitas swasta di Cirebon sebagai dosen LB dan gw juga aktif sebagai peneliti di pusat studi pembangunan di salah satu universitas negeri di semarang.

jujur saja, gw baru buka lagi blog ini awal februari 2016 kemarin...kasihan rasanya liat kondisi blog yang penuh sarang laba-laba ini. 2016 harus lebih baik, gw bertekad ditahun ini banyak karya yang bisa gw hasilkan, selain aktif nulis lagi di blog ini gw juga lagi nulis buku. semoga bisa selesai sesuai target....
2016 tahun produktif... mari menulis lagi, yoossshhhhh...!!!!!