Saturday, June 30, 2012

Tinjauan Teoritis Kepemimpinan (2) : Teori Transformasional, Teori Kontingensi

Lanjutan ..........

4. Teori Transformasional

Pemimpin pentransformasi (transforming leaders) mencoba menimbulkan kesadaran para pengikut dengan mengarahkannya kepada cita-cita dan nilai-nilai moral yang lebih tinggi. Pemimpin transformasional membuat para pengikut menjadi lebih peka terhadap nilai dan pentingnya pekerjaan, mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi dan menyebabkan para pengikut lebih mementingkan organisasi. Hasilnya adalah para pengikut merasa adanya kepercayaan dan rasa hormat terhadap pemimpin tersebut, serta termotivasi untuk melakukan sesuatu melebihi dari yang diharapkan darinya. Efek-efek transformasional dicapai dengan menggunakan karisma, kepemimpinan inspirasional, perhatian yang diindividualisasi serta stimulasi intelektual

5. Teori Kontingensi

Teori kontingensi menganggap bahwa kepemimpinan adalah suatu proses di mana kemampuan seorang pemimpin untuk melakukan pengaruhnya tergantung dengan situasi tugas kelompok (group task situation) dan tingkat-tingkat dari pada gaya kepemimpinannya, kepribadiannya dan pendekatannya yang sesuai dengan kelompoknya. Dengan perkataan lain, menurut Fiedler, seorang menjadi pemimpin bukan karena sifat-sifat daripada kepribadiannya, tetapi karena berbagai faktor situasi dan adanya interaksi antara Pemimpin dan situasinya.

Fiedler menemukan 3 (tiga) dimensi kritis daripada situasi/lingkungan yang mempengaruhi gaya Pemimpin yang sangat efektif, yaitu (1) Kekuasaan atas dasar kedudukan/ jabatan (Position power) ; Kekuasaan atas dasar kedudukan/ jabatan ini berbeda dengan sumber kekuasaan yang berasal dari tipe kepemimpinan yang kharismatis, atau keahlian (expertise power). Berdasarkan atas kekuasaan ini seorang pemimpin mempunyai anggota-anggota kelompoknya yang dapat diperintah/ dipimpin, karena ia bertindak sebagai seorang Manager, di mana kekuasaan ini diperoleh berdasarkan atas kewenangan organisasi (organizational authority). (2) Struktur tugas (task structure) ; Pada dimensi ini Fiedler berpendapat bahwa selama tugas-tugas dapat diperinci secara jelas dan orang-orang diberikan tanggung jawab terhadapnya, akan berlainan dengan situasi di mana tugas-tugas itu tidak tersusun (unstructure) dan tidak jelas. Apabila tugas-tugas tersebut telah jelas, mutu daripada penyelenggaraan kerja akan lebih mudah dikendalikan dan anggota-anggota kelompok dapat lebih jelas pertanggungjawabannya dalam pelaksanaan kerja, daripada apabila tugas-tugas itu tidak jelas atau kabur. (3) Hubungan antara Pemimpin dan anggotanya (Leader-member relations) ; Dalam dimensi ini Fiedler menganggap sangat penting dari sudut pandangan seorang pemimpin. Kekuasaan atas dasar kedudukan/jabatan dan struktur tugas dapat dikendalikan secara lebih luas dalam suatu badan usaha/organisasi selama anggota kelompok suka melakukan dan penuh kepercayaan terhadap kepimpinannya (hubungan yang baik antara pemimpin-anggota).

Tinjauan Teoritis Kepemimpinan (1) : Teori Perilaku, Teori Sifat, Teori Transaksional

Kegiatan manusia secara bersama-sama selalu membutuhkan kepemimpinan. Untuk berbagai usaha dan kegiatannya diperlukan upaya yang terencana dan sistematis dalam melatih dan mempersiapkan pemimpin baru. Oleh karena itu,banyak studi dan penelitian dilakukan orang untuk mempelajari masalah pemimpin dan kepemimpinan yang menghasilkan berbagai teori tentang kepemimpinan. Teori kepemimpinan merupakan penggeneralisasian suatu seri perilaku pemimpin dan konsep-konsep kepemimpinannya, dengan menonjolkan latar belakang historis, sebab-sebab timbulnya kepemimpinan, persyaratan pemimpin, sifat utama pemimpin, tugas pokok dan fungsinya serta etika profesi kepemimpinan (Kartini Kartono, www.wikipedia.org/ kepemimpinan indonesia). Berikut ini Adalah penjelasan Teori-Teori kepemimpinan secara singkat :

1. Teori Perilaku

Dasar pemikiran teori ini adalah kepemimpinan merupakan perilaku seorang individu ketika melakukan kegiatan pengarahan suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan. Dalam hal ini, pemimpin mempunyai deskripsi perilaku diantaranya adalah (1) Konsiderasi dan struktur inisiasi ; Perilaku seorang pemimpin yang cenderung mementingkan bawahan memiliki ciri ramah tamah, mau berkonsultasi, mendukung, membela, mendengarkan, menerima usul dan memikirkan kesejahteraan bawahan serta memperlakukannya setingkat dirinya. Di samping itu terdapat pula kecenderungan perilaku pemimpin yang lebih mementingkan tugas organisasi. (2) Berorientasi kepada bawahan dan produksi ; Perilaku pemimpin yang berorientasi kepada bawahan ditandai oleh penekanan pada hubungan atasan-bawahan, perhatian pribadi pemimpin pada pemuasan kebutuhan bawahan serta menerima perbedaan kepribadian, kemampuan dan perilaku bawahan.

2. Teori Sifat

Teori ini bertolak dari dasar pemikiran bahwa keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh sifat-sifat, perangai atau ciri-ciri yang dimiliki pemimpin itu. Atas dasar pemikiran tersebut timbul anggapan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil, sangat ditentukan oleh kemampuan pribadi pemimpin. Dan kemampuan pribadi yang dimaksud adalah kualitas seseorang dengan berbagai sifat, perangai atau ciri-ciri di dalamnya. Ciri-ciri ideal yang perlu dimiliki pemimpin menurut Sondang P Siagian adalah (1) Pengetahuan umum yang luas, daya ingat yang kuat, rasionalitas, obyektivitas, pragmatisme, fleksibilitas, adaptabilitas, orientasi masa depan. (2) Sifat inkuisitif, rasa tepat waktu, rasa kohesi yang tinggi, naluri relevansi, keteladanan, ketegasan, keberanian, sikap yang antisipatif, kesediaan menjadi pendengar yang baik, kapasitas integrative. (3) Kemampuan untuk bertumbuh dan berkembang, analitik, menentukan skala prioritas, membedakan yang urgen dan yang penting, keterampilan mendidik, dan berkomunikasi secara efektif.

3. Teori Transaksional

Kepemimpinan transaksional adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan serta ditetapkan dengan jelas peran dan tugas-tugasnya. Kepemimpinan transaksional aktif menekankan pemberian penghargaan kepada bawahan untuk mencapai kinerja yang diharapkan. Oleh karena itu secara pro aktif seorang pemimpin memerlukan informasi untuk menentukan apa yang saat ini dibutuhkan bawahannya. Maka dapat dikatakan bahwa prinsip utama dari kepemimpinan transaksional adalah mengaitkan kebutuhan individu pada apa yang diinginkan pemimpin untuk dicapai dengan apa penghargaan yang diinginkan oleh bawahannya memungkinkan adanya peningkatan motivasi bawahan.

Kepemimpinan di Indonesia : Sebuah Ironi

Sampai detik ini sejumlah masalah masih mengidap di tubuh bangsa ini. Di bidang Politik, hukum dan keamanan, bangsa kita adalah raksasa rapuh. Rumah bangsa ini tidak punya pagar. Kapal-kapal asing bebas keluar masuk menjarah ikan di perut laut pedalaman. Bahkan negara tetangga tanpa rasa takut memindahkan patok-patok batas negara. Maklum, peralatan perang tentara kita lawas. Sementara, budaya koruptif begitu akut dan sistemik ada di seluruh struktur urusan publik. Di sektor Kesra, sejumlah borok bangsa masih belum hilang: Angka kemiskinan tinggi. Pendidikan dan kesehatan mahal. Anak-anak busung lapar belum hilang dari angka statistik. Untuk urusan bencana, begitu lambat penanganannya. Ini adalah wujud minimnya rasa empati negara terhadap kesengsaraan rakyatnya. Belum lagi konflik horizontal, baik yang bermotif sara ataupun bermotif ekonomi. Ini pertanda negara tidak hadir di saat rakyat membutuhkan sebagai lembaga yang memiliki otoritas mengatur ketertiban.

Di bidang ekonomi. Kita tidak berdaulat atas nasib ekonomi kita sendiri. Bahkan, kalah nyali dengan pemodal asing dalam setiap negosiasi membagi kue hasil usaha. Akibatnya, kita krisis energi. Antre BBM, Pemadaman listrik. Kenapa itu semua terjadi? Banyak faktor yang menjadi sebabnya. Tapi, ada satu faktor mendasar yang menjadikan itu semua terjadi, yaitu kegagalan para elite kita memimpin bangsa ini. Sejatinya seorang pemimpin adalah orang yang secara berani mengambil alih masalah orang lain menjadi tanggung jawab dirinya. Ia problem solver masalah lingkungannya. Celakanya, beberapa dekade kepemimpinan bangsa ini justru diemban bukan oleh seorang problem solver. Jika pun ada, masih malas berpikir. Tidak kreatif dalam mencari solusi. Setidaknya masih tambal sulam. Akibatnya, tidak ada satu masalah bangsa pun yang terselesaikan secara tuntas.

Kenyataan itu bisa kita dapati dalam potret keseharian masyarakat, tercetak di surat kabar, dan terekspose di kotak kaca televisi di ruang keluarga rumah kita. Siapapun presidennya, rakyat selalu harus antre minyak tanah untuk kompor mereka. Siapapun gubernur di ibukota, macet dan banjir adalah penyakit akut yang entah kapan akan enyah dari kehidupan keseharian warga kota. Repotnya lagi jika pemimpin yang terpilih justru menjadi problem bagi bangsa ini. Setiap hari rakyat digempur dengan masalah-masalah yang tidak perlu tapi dibuat pemimpin jenis ini. Sehingga tak heran jika hampir semua pemimpin di negeri ini masa akhir jabatannya adalah tragedi. Soekarno sebelumnya dielu-elukan rakyat, akhir masa jabatannya tercatat begitu suram. Ia digoyang dan dijatuhkan oleh rakyat. Mati dalam kesendirian. Begitu juga Soeharto. Bapak Pembangunan ini pun tersungkur di masa akhir jabatannya. Bahkan, Presiden Abdurrahman Wahid lebih menyedihkan lagi. Hanya seumur jagung memerintah. Kursinya dicopot beramai-ramai lewat sebuah mekanisme yang hampir tidak masuk akal.

Tak heran jika akhirnya masalah-masalah yang membelit bangsa ini jadi bertumpuk dan tidak pernah diselesaikan. Sebab, kepemimpinan yang ada hanya sibuk membangun benteng kekuasaan dengan permainan citra. Semua masalah bangsa diselesaikan dengan retorika, iklan di media massa, atau setidaknya dengan kata “akan” lewat statement di forum kenegaraan. Dengan kata “akan” itu seolah-olah masalah telah terselesaikan. Padahal tidak. Persis seperti seorang ABG yang mendempul wajahnya dengan bedak tebal guna menutupi bopeng bekas jerawat. Wajahnya terlihat mulus memang. Tapi, bopeng di wajahnya masih tetap ada.

Karena itu, bangsa ini memerlukan pemimpin baru. Pemimpin yang menjadi problem solver. Pemimpin seperti ini tentu lahir dari generasi baru. Bukan dari generasi lawas pewaris kepemimpinan pola lama. Bukan juga berasal dari individu yang terlibat dan menyangga kepemimpinan masa lalu. Itulah hukum besi suatu perubahan. Sesuatu berubah dan menjadi baru karena memang diganti dengan yang barui. Perubahan baru yang signifikan baru akan terjadi jika terjadi perubahan kepemimpinan yang cukup radikal. Bangsa ini membutuhkan pemimpin baru. Pemimpin yang menjadi antitesis karakteristik kepemimpinan gaya lama. Tapi, tentu saja kepemimpinan baru itu tidak berpola pikir nihilis. Pasti ada sisi-sisi positif yang dihasilkan dari kerja kepemimpinan masa lalu. Hal-hal positif itu tentu saja batu pijakan yang bagus untuk memulai step baru bagi perjalan bangsa ini ke depan.