Saturday, December 15, 2012

Pendidikan yang Membebaskan (dari Totto Chan dan Freire) – Refleksi untuk Para Pendidik


Ini adalah sambungan dari tulisan saya sebelumnya, agak lebih panjang dari sebelumnya, semoga tidak bosan membacanya, masih bicara tentang pendidikan “anti mainstream” (istilah yang lagi trend saat ini) yang mencoba mendobrak pendidikan ala kapitalistik modern dengan pendidikan yang membebaskan dan menyentuh nilai-nilai humanis. jika sebelumnya saya hanya bicara prolog bahwa trend sekolah alternatif kini mulai menggeliat seiring dengan akumulasi kecemasan public atas persoalan pendidikan yang dalam bahasa Freire dinyatakan sebagai pabrik pencetak para penindas. untuk kali ini saya akan berbagi bagaimana sebenarnya pendidikan yang membebaskan itu berdasarkan perspektif tetsuko kuroyanagi dalam bukunya totto chan dan pemikiran Freire yang banyak mengilhami lahirnya sekolah-sekolah alternatif saat ini.

Saya ingin memulai dengan satu realitas yang mungkin berlaku untuk sebagian besar kasus walaupun tidak bisa dianggap bersifat keseluruhan bahwa saat ini pendidikan disekolah hanyalah proses transfer belaka. Anak-anak yang dianggap tak tahu diisi kepalanya oleh pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki guru. Jika saja ada anak yang menolak karena berpikir ia tak butuh, atau apa yang dikatakan guru salah, siap-siap saja dikucilkan. Guru bak manusia ½ dewa!” realitas ini kemudian coba diketengahkan tetsuko kuroyanagi dalam novelnya Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela, novel ini adalah kisah nyata masa kecil tetsuko saat bersekolah di sebuah sekolah “unik” bernama tomoe gakuen di Tokyo, jepang. sebelum perang dunia kedua.

Tetsuko bercerita tentang masa kecilnya, betapa dia dianggap sebagai anak yang nakal sebelum sekolah di tomoe, bahkan kemudian dia dikeluarkan dari sekolahnya karena dianggap sebagai anak yang nakal dan tidak bisa diatur. Totto chan memang anak yang lincah dan memiliki keingintahuan yang besar, keingintahuannya ini mendorongnya untuk mengeksplorasi segala sesuatu disekelilingnya. Hal ini tidak benar-benar dipahami oleh guru kelas totto chan yang menganggap itu sebagai sebuah masalah hingga dia harus dikeluarkan, dan mama (ibu totto chan) kemudian memindahkan totto chan ke tomoe gakuen, dan disinilah kisah hebat itu dimulai.

Tomoe gakuen adalah sekolah yang unik, gedung Tomoe gakuen terdiri dari gerbong kereta api yang sudah tak terpakai lagi. Sang Kepala sekolah, Mr. Kobayashi, tampaknya sengaja melakukan ini, menyiratkan: di mana saja kita bisa belajar, tak terkecuali di dalam gerbong kereta api. Tidak hanya ruang kelasnya, Tomoe Gakuen juga menerapkan pola pengajaran yang berbeda dari sekolah kebanyakan. Semua siswa diizinkan untuk mengubah urutan pelajaran sesuka hatinya. Di sana, anak-anak juga bebas mau belajar apa. Totto-Chan boleh memilih pelajaran seni rupa terlebih dahulu, sementara kawan-kawannya mengambil pejaran yang lain. Tak ada masalah. Dan selama belajar guru hadir bukan sebagai orang yang maha tahu, tapi sama-sama belajar, berdialog, tentang pelajaran apa yang mereka lakukan hari itu. Kepala sekolah dan gurupun lebih menekankan pada pengalaman langsung sehingga pembelajaran kerap dilakukan di luar kelas. Disalah satu bagiannya diceritakan sang guru mengajak anak-anak berjalan-jalan setelah mereka menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik. Hal yang menarik adalah guru menggunakan kesempatan itu untuk mengajarkan sejarah dan biologi kepada siswa-siswanya dengan cara yang menyenangkan. Di bagian lain, siswa belajar bercocok tanam di ladang ataupun mengunjungi rumah sakit untuk menghibur korban perang. Adapula bagian dimana kepala sekolah sengaja membiarkan para siswa berenang tanpa pakaian di kolam renang atau merancang sebuah kompetisi olah raga untuk meningkatkan kepercayaan diri Yasuaki Chan yang mengalami kelainan fisik. Totto chan dan teman-temannya tidak hanya belajar tentang pengetahuan akademik tetapi juga tentang persahabatan dan kemanusiaan.

Kepala sekolah, Mr Kobayashi adalah sosok yang sangat mencintai pendidikan dan anak didiknya. Gagasan-gagasan uniknya merupakan manifetasi dari pemahamannya yang mendalam tentang psikologi perkembangan anak, euritmik salah satunya. dalam buku ini disampaikan dengan lugas betapa besarnya peran seorang pendidik amat mempengaruhi perkembangan jiwa seorang anak. Selalu terngiang dalam pikiran Totto-Chan perkataan kepala sekolah Tomoe, “Totto-Chan, kamu benar-benar anak yang baik”. Kalimat ini diucapkan oleh kepala sekolah berulang-ulang sehingga membuat kepercayaan diri Totto-Chan tumbuh. Sikap kepala sekolah menjadikan Totto chan tumbuh menjadi anak yang cerdas dan humanis.

Banyak sekali pesan tentang “pendidikan yang membebaskan” dalam novel tersebut, begitu juga dengan pemikiran filsafat Paulo Freire yang juga bicara tentang pendidikan yang membebaskan, dalam praksis pendidikan Freire pendidikan adalah proses menumbuhkan pemahaman kritis sehingga kaum tertindas mampu dengan dayanya keluar dari hegemoni para penindas dan manusia menjadi mahluk yang humanis. freire menilai bahwa pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Menurut freire sistem pendidikan yang pernah ada dan mapan selama ini dapat diandaikan sebagai sebuah “bank” (banking concept of education), dimana pelajar diberikan ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Jadi anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis lainnya yang lazim dikenal. Deposito atau investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mapan dan berkuasa, sementara depositonya adalah berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan pada peserta didik. Anak didikpun lantas diperlakukan seperti ‘bejana kosong’ yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman modal ilmu pengetahuan yang akan dipetik hasilnya kelak. Jadi guru adalah subyek aktif, sedang anak didik adalah obyek pasif yang penurut, dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunia yang diajarkan kepada mereka, sebagai obyek ilmu pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran.

Dalam pandangan seperti tadi, pendidikan akhirnya bersifat negatif dimana guru memberi informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan dihapalkan. Secara sederhana Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan ‘gaya bank’ itu sebagai berikut : Pertama, Guru mengajar, murid belajar. Kedua, Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa – apa. Ketiga, Guru berfikir, murid difikirkan. Keempat, Guru bicara, murid mendengarkan. Kelima, Guru mengatur, murid diatur. Keenam, Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti. Ketujuh, Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya. Kedelapan, Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri. Kesembilan, Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid – murid. Kesepuluh, Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya.

Oleh karena itu guru yang menjadi pusat segalanya, maka merupakan hal yang lumrah jika murid-murid kemudian mengidentifikasikan diri seperti gurunya sebagai prototip manusia ideal yang harus ditiru, harus diteladani dalam semua hal. Implikasi lebih jauh adalah bahwa pada saatnya nanti murid-murid akan benar-benar menjadikan diri mereka sebagai duplikasi guru mereka dulu, dan pada saat itulah akan lahir lagi generasi baru manusia-manusia penindas. Jika di antara mereka ada yang menjadi guru atau pendidik, maka daur penindasan segera dimulai dalam dunia pendidikan, dan demikian terjadi seterusnya. pola pendidikan seperti itu paling jauh hanya akan mampu mengubah ‘penafsiran’ seseorang terhadap situasi yang dihadapinya, namun tidak akan mampu mengubah ‘realitas’ dirinya sendiri. Manusia menjadi penonton dan peniru, bukan pencipta.

Tak puas dengan pendidikan model ini, Freire menawarkan pendidikan hadap masalah. Anak didik menjadi subyek yang belajar, subyek yang bertindak dan berpikir, dan pada saat bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya. Begitu pula sang guru. Jadi keduanya (murid dan guru) saling belajar satu sama lain, saling memanusiakan. Dalam proses ini, guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh murid dan pertimbangan sang guru sendiri diuji kembali setelah dipertemukan dengan pertimbangan murid-murid, dan sebaliknya. Hubungan keduanyapun menjadi subyek-subyek, bukan subyek-obyek. Obyek mereka, adalah realita. Maka terciptalah suasana dialogis yang bersifat intersubyektif untuk memahami suatu obyek bersama. Secara sekilas pendidikan ini menawarkan model dimana guru dan murid sama-sama belajar demi merumuskan dan memecahkan permasalahan yang mereka hadapi. Tak ada yang merasa lebih tahu, guru bisa menjadi murid, murid bisa menjadi guru. Dengan kata lain: semua orang itu guru.

Itulah kira-kira pendidikan yang membebaskan berdasarkan perspektif Tetsuko Kuroyanagi dalam bukunya Totto Chan dan Pemikiran filsafat Paulo Freire yang fenomenal, konsep ini kemudian menjadi inspirasi banyak gerakan pendidikan. Ini juga menjadi renungan bagi para pendidik untuk lebih melihat anak didik sebagai manusia yang utuh, seperti mimpi Tetsuko Kuroyanagi ketika menulis Totto Chan, Tetsuko bermimpi tiap anak dapat merasakan apa yang ia rasakan ketika ia bersekolah di Tomoe Gakuen, sekolah yang membebaskan!!!

Belajar Dari Negeri Skandinavia - Pendidikan di Finlandia

Finlandia adalah Negara yang terletak di wilayah skandinavia, Negara yang beribukota di Helsinki ini adalah Negara dengan predikat pendidikan terbaik di dunia, dari tahun ke tahun finlandia konsisten berada di ranking atas untuk Negara dengan kualitas pendidikan terbaik. pemeringkatan kualitas pendidikan dilakukan oleh PISA (Programme for International Study Assessment), sebuah studi internasional yang bertujuan mengevaluasi sistem pendidikan di dunia. Evaluasi 3 tahunan oleh PISA ini dilakukan dengan mengukur keterampilan dan pengetahuan siswa berusia 15 tahun yang diplih secara acak Bidang yang diukur adalah membaca, matematika dan sains.[1]

Konsistensi Finlandia mendapatkan peringkat atas dalam tes PISA membuat banyak pakar pendidikan ingin tahu penyebabnya. Menurut situs University of Helsinki, kemajuan pendidikan di Finlandia dimulai pada abad 19. Saat itu, Uuno Cygnaeus, “bapak pendidikan dasar” Finlandia mencetuskan ide bahwa kelas yang paling baik adalah kelas di mana murid lebih banyak berbicara dibanding guru. Selain itu, tokoh-tokoh pendidikan di Finlandia juga memakai pandangan John Dewey dalam pendidikannya, yaitu belajar dengan mempraktikkannya.[2] Iklim belajar siswa-siswa sekolah di finlandia sangat berbeda dengan Indonesia. Pendidikan di sekolah berlangsung rileks sehingga siswa tidak merasa sekolah sebagai aktivitas yang membosankan seperti di Indonesia. Saat masuk kelas siswa harus melepas sepatu, jadi ketika proses belajar mengajar mereka hanya berkaus kaki didalam kelas. Belajar aktif diterapkan guru di dalam kelas, siswa didorong untuk lebih banyak berbicara daripada guru di kelas. Semua guru di sekolah-sekolah Finlandia adalah tamatan S2 dan dipilih dari the best ten lulusan universitas. Orang merasa lebih terhormat jadi guru daripada jadi dokter atau insinyur. Di dalam kelas frekuensi tes benar-benar dikurangi. Ujian nasional hanyalah Matriculation Examination untuk masuk PT. masalah anggaran, pemerintah memberikan porsi anggaran untuk sekolah swasta sama besar dengan anggaran untuk sekolah negeri.

Masalah kualitas guru di Finlandia kiranya tak perlu dipersoalkan mutunya. Sudah dipastikan guru-guru di Finlandia adalah guru bermutu tinggi. Karena para guru dipilih yang paling berkualitas dan terlatih. Dan untuk bisa kuliah di jurusan pendidikan harus bersaing ketat, lebih ketat ketimbang persaingan di fakultas-fakultas bergengsi lainnya. Biasanya dari 7 peminat hanya 1 orang saja yang diterima. Padahal di Finlandia gaji guru tidak begitu besar. Tetapi negara dan rakyat Finladia menempatkan guru sebagai jabatan terhormat dan mereka yang menyandang jabatan itu pun juga merasa mendapat sebuah prestisius dan kebanggaan. Puncak kebanggaan mereka berhasil mendidik anak didik bukan berhasil memanipulasi nilai siswa. para guru di Finlandia akan selalu mengatakan “Kalau saya gagal dalam mengajar seorang siswa, itu berarti ada yang tidak beres dengan pengajaran saya.”[3]

Di dalam kelas, sangat jarang ada guru yang berdiri di depan kelas dan memberikan ceramah selama 50 menit. Siswalah yang menjadi pusatnya, dengan menentukan sendiri target mingguan dengan guru, pada bidang tertentu dan memilih tugasnya sendiri. Sehingga yang terjadi di kelas adalah: siswa berjalan kesana kemari, mengumpulkan informasi, bertanya pada guru dan bekerja sama dengan siswa lain dalam kelompok kecil. Desain pembelajaran semacam ini dikembangkan secara lokal oleh guru di sekolah. Sehingga, guru selalu ditantang untuk membuat kurikulum dan mengembangkan evaluasi kinerja yang sesuai dengan kondisi sekolah. Untuk itu saat menjalani pelatihan, guru dibekali dengan keterampilan mengajar siswa yang memiliki gaya belajar beragam, termasuk yang berkebutuhan khusus. Penekanannya adalah pada multikulturalitas dan pencegahan munculnya kesulitan belajar dan pembedaan. Dan pada akhirnya, slogan no child left behind pun menjadi nyata.

Kurikulum di Finlandia pun tidak terlalu ‘akademis’ seperti yang dibayangkan ada di negara dengan pencapaian akademis yang tinggi. Siswa di sekolah-sekolah Finlandia mengikuti jam belajar yang lebih sedikit. Sekolah dan guru diberi kebebasan dalam menentukan kurikulum, metode pengajaran dan juga materi ajar. Guru-guru juga mengadakan pertemuan, setidaknya satu kali dalam seminggu, untuk secara kelompok, merencanakan dan mengembangkan kurikulum. Di dalam pertemuan tersebut, semua guru didorong untuk saling berbagi material.[4]

Prinsip kurikulum pendidikan Finlandia adalah” Less is More“. Sekolah berfungsi sebagai tempat belajar dan eksplorasi potensi dimana sekolah menjadi lingkungan yang relaks dan tidak terlalu mengikat siswanya dengan jam belajar dan kapasitas tugas yang tidak terlalu membebani siswa. Di samping itu, tidak ada sistem peringkat untuk prestasi akademik dan ujian standarisasi dari tingkat sekolah dasar sampai dengan menengah pertama. Para siswa juga baru diuji dengan ujian standarisasi pada sekolah menengah tingkat akhir. Ujian ini pun bersifat optional, hanya bagi mereka yang ingin melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Bagi yang tidak mengikuti ujian, tetap bisa melanjutkan ke institusi pendidikan yang berorientasi ke praktek dunia kerja. Sistem pendidikan Finlandia sangat menitikberatkan bimbingan bagi siswa yang mengalami kesulitan belajar. Finlandia optimis bahwa hasil terbaik hanya dapat dicapai bila kita lebih memperhatikan siswa yang kurang daripada terlalu menekankan target kepada siswa yang unggul. Dengan begitu, tidak ada anak-anak yang merasa tertinggal. Finlandia terbukti mampu mencetak anak-anak berprestasi di bidang akademik tanpa harus mengikuti standarisasi akademik konvensional yang kaku.[5]


[1]  Organisation for Economic Co-operation and Development. (2012). About PISA
[2]  Siina , V. (2012, January 25). News & Events.
[4]  Darling-Hammond, L. (2012, November). What we can learn from Finland’s successful school reform
[5] Anonymous. Kurikulum pendidikan finlandia : less is more (http://mjeducation.co/kurikulum-pendidikan-finlandia-less-is-more/

Akumulasi Kecemasan itu Bernama “Sekolah Alternatif”

Kemarin, untuk kali kedua saya bertemu pak din pendiri sekolah alternatif qaryah thoyibah tapi beliau lebih suka menyebutnya kelompok belajar qaryah thoyibah atau disingkat KBQT di tingkir, Salatiga. Memang sejak pertama kenal sekolah satu ini dari pelatihan FIM di cibubur oktober lalu, ketertarikan saya terhadap dunia pendidikan seperti meluap-luap. Alasan pertama adalah karena sejak dulu memang saya memimpikan suatu saat nanti bisa mendirikan sekolah dan perpustakaan bagi anak-anak kurang mampu di desa saya, sehingga semua anak merasakan indahnya dunia dari kemilau ilmu pengetahuan yang mereka pelajari, tentu dengan Cuma-Cuma tak perlu mengerutkan dahi memikirkan biaya. Alasan kedua berangkat dari keprihatinan saya terhadap realitas pendidikan saat ini, kompleksitas permasalahan dunia pendidikan seperti benang kusut yang terus mengusut dari hari ke hari, kalian pasti tahu!

Dari pertemuan yang singkat itu saya menggali banyak hal tentang hakekat pendidikan. banyak pengetahuan baru yang saya dapatkan dan rasanya sangat menyentuh realitas. Sejak itu, saya tertarik menggali lebih jauh filsafat dan teori-teori yang menginspirasi gerakan pendidikan semacam ini melalui buku dan internet, salah satu buku yang menginspirasi adalah novel karya tetsuko kuroyanagi berjudul Totto chan yang bercerita tentang betapa pendidikan harus menempatkan anak didik sebagai manusia seutuhnya, secara lebih humanis, karena mereka anak-anak didik bukanlah makhluk mekanis.  Novel ini sangat tajam menyentil dunia pendidikan saat ini, Tentu kita sadar sudah lama dunia pendidikan formal (sekolah) kita dikritik sebagai tempat yang kurang nyaman bagi siswa didik dalam mengeksplorasi dan menumbuhkembangkan jatidiri. Sekolah tak ubahnya kerangkeng penjara yang menindas para murid. Mereka harus menjadi sosok yang serba penurut, patuh, dan taat pada komando. Imbasnya, mereka menjadi sosok mekanis yang kehilangan sikap kreatif dan mandiri. Mereka belum terbebas sepenuhnya dari suasana keterpasungan dan penindasan.

Yang lebih mencemaskan adalah dunia persekolahan pendidikan kita dinilai hanya menjadi milik anak-anak orang kaya. Usai menuntut ilmu, mereka menjadi penindas-penindas baru sebagai efek domino dari proses dan sistem yang selama ini mereka dapatkan di sekolah. Sungguh sangat beralasan jika banyak pengamat pendidikan yang menilai bahwa dunia persekolahan kita selama ini hanya melahirkan kaum penindas. Sementara itu, anak-anak dari kalangan masyarakat kelas bawah yang tidak memiliki akses terhadap dunia pendidikan hanya akan menjadi kacung dan kaum tertindas.

Situasi keterpasungan dan ketertindasan yang berlangsung dalam dunia pendidikan kita, disadari atau tidak, telah menimbulkan resistensi dari para penggiat sosial. Mereka banyak merintis berdirinya pendidikan alternatif yang berupaya membebaskan peserta didik dari situasi keterpasungan dan penindasan. Kalau dalam dunia persekolahan kita identik dengan penyeragaman dan indoktrinasi,  pendidikan alternatif mencoba memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk menentukan pelajaran yang disukai atau memilih jenis aktivitas yang sesuai dengan minat dan hobi mereka masing-masing, bebas upacara, bahkan bebas ujian. Tempat belajar pun tak selalu berada di sebuah gedung yang mentereng atau laboratorium ber-AC, tetapi bisa berlangsung di bawah jembatan, tepian rel kereta api, atau di gubug-gubug kardus.

Novel Totto chan hanya satu dari sekian inspirasi lahirnya sekolah-sekolah alternatif saat ini, selain novel tersebut mungkin pemikiran Paulo Friere adalah yang paling menginspirasi dari yang lain, Paulo Friere adalah tokoh pendidikan asal Brazil, Ia dikenal sebagai seorang tokoh yang sangat kontroversial lantaran keberaniannya menggugat sistem pendidikan yang telah mapan dalam masyarakat Brasil. Sistem pendidikan yang ada dianggap sama sekali tidak berpihak pada rakyat miskin, tetapi sebaliknya justru mengasingkan dan menjadi alat penindasan oleh penguasa. Karena hanya menguntungkan penguasa, menurut Freire, pendidikan yang hanya melahirkan kaum penindas semacam itu harus dihapuskan dan digantikan dengan sistem pendidikan yang baru. Bisa jadi, maraknya pendidikan alternatif semacam itu terilhami oleh ide-ide cemerlang dari Paulo Freire ini.