Thursday, October 4, 2012

Pemulung dan Kita


Sekarang ini, di banyak tempat, di banyak kompleks perumahan, di kampung-kampung dan kawasan-kawasan rumah mewah, reaksi terhadap pemulung nampaknya mulai seragam. Di mulut-mulut gang mulai tertera peringatan yan sama;  pemulung dilarang masuk!

Ada apa ini?ditilik dar peran pemulung, tulisan ini sungguh merupakan kekeliruan. Tana pemulung, daur ulang sampah akan mengalami persoalan. Merekalah sejatinya “bakteri”pengrai yang menyehatkan ekosistem. Tapi, begitulah watak kita terhadap bakteri. Kita meremehkanya hanya karena mereka berada di tempat-tempat yang kotor dan busuk. Padahal, tanpa pembusukan, betapa akan menjadi mudah penuh jagat raya ini oleh remah-remah bikinan manusia. Jasi, betapa gegabah jika pemulung diharamkan begitu saja.

Tanpa pemulung, sulit membayangkan pemerintah bisa mengatasi persoalan sampahnya sendirian. Kasus TPA bantar gebang misalnya, membuktikan bahwa jakarta hanya bisa membuang sampah tapi kesulitan mencari tong sampah, perasaan Cuma menjadi tong sampah itulah yang membuat bekasi tergoda untuk marah.

Kasus di bandung utara dulu menegaskan kepada kita, betapa sampah lebih dari sekedar kotoran. Ia adalah bencana. Terutama kalau sudah menggunung bertahun-tahun. Dan gunungan itu begitu tingginya. Ketika sempitnya lahan tak kuat lagi menyangga ketinggiannya, maka longsonran sampah bisa setara dengan gempa. Ia sanggup melumat sebuah desa.

Jadi, lewat dasar apa gerangan pelarangan terhadap pemulung ini bermula. Oo,ternyata oleh kejengkelan semata. Jengkel, karena pemulung yang bisa beroperasi di pagi buta itu ternyata juga pihak yang bisa menggondol jemuran, mengangkut sandal, dan sepatu-sepatu di pagar pintu. Ada memang, jenis karung pemulung itu yang tidak Cuma berisi kardus bekas, plestik-plastik rombeng, tapi juga ember dan panci-panci baru. Seorang pemulung merangkap menjadi seorang penilep.

Tapi, jika seluruh pemulung adalah pencuri, jumlah curiannya pasti akan setara dengan jumlah seluruh pembobolan bank di indonesia. Padahal, jika harus menyamai jumlah pembobolan bank itu, seluruh pemulung harus mencuri setiap hari secara bersama-sama pula, sampai hari kiamat tiba, dan ini pasti mustahil.

Maka para penilep itu pasti Cuma ulah para oknum belaka. Sayangnya, di dalam dunia pemulung, tidak pernah kita kenakan sebutan oknum. Oknum itu Cuma kita kenakan kepada profesi yang menurut kita hebat-hebat dan terhormat seperti polisi, tentara, dokter, wartawan, hakim, pengacara dan sebagainya. Tapi, karena kita tidak ingin berperkara dengan mereka, kita selalu menyebutnya oknum jika kita dapati ada polisi menjadi tukang palak pada orang yang tengah berperkara, ada tentara mengamuk di panti pijat, ada hakim berjualan perkara, ada pengacara Cuma mengulur-ulur perkara. Orang-orang itu bukan polisi lagi,bukan tentara,bukan hakim, bukan pengacara,tapi oknum!haha..

Kita tentu setuju karena di setiap profesi pasti menyimpan para juara. Ada polisi juara, ada hakim juara, ada pengacara dan tentara juara. Kita bisa mengerti atas sebutan penyimpanan itu sebagai ulah oknum. Tapi, kenapa kepada pemulung tidak pernah kita kenakan kata oknum.

Ini sungguh tidak adil. Dan ketdakadilan ini pasti karena naluri ketakutan kita kepada yang kuat dan keangkuhan kita di hadapan yang lemah. Padahal, berani kepada yang lemah adalah ciri-ciri manusia yang lemah. Dengan demikian, gawat sekali keadaan kita, kalau dari kasus pelarangan terhadap pemulung ini watak kita sebagai bangsa yang lemah tertebak!hahahaha....

Tuesday, October 2, 2012

Pandangan Orang Lain


Belum pernah saya hitung, berapa besarkah bagian hidup yang saya gadaikan demi melayani pandangan orang lain. karena dimanapun saya berada, pandangan orang lain itu seperti tak henti-hentinya mengepung saya.

Ketika kecil, saya sudah terbiasa melihat anggota keluarga sibuk melayani pandangan orang lain ini dengan berbagai  variasinya.  Jika jarang keluar rumah dan enggan ngobrol berlama-lama dengan tetangga, kami takut dipandang sebagai seorang yang “tidak umum”. Jika diri sendiri punya hajat, harus pula menurut hukum pandangan tetangga. Harus menggelar pesta, mengundang banyak orang dan mengumpulkan sanak saudara. Tak peduli apakah untuk itu kita harus berhutan, pesta semacam itu telah merupakan keharusan karena memang menurut pandangan orang.

Jika kenalan ganti punya hajat, betapapun jauh rumahnya, kita harus memaksa diri datang bagaimanapun keadaan kita. Bukan Cuma karena perasaan tidak enak pada si empunya hajat, tetapi juga kepada semua tetangga lain, yang kompak berdatangan. Jika kita tidak ikut-ikutan, takutlah kita akan tudingan.

Dituding seperti ini itu, betapa mengerikan. Untuk itu, apa saja bisa kita lakukan, apalagi jika Cuma harus berhutang. Sejak kecil kepada kami telah diajarkan “ ketimbang kalah orang, mending kalah barang”. Tentu, kami harus bersepakat bahwa orang memang harus dihargai lebih tinggi daripada barang. Kehormatan harus lebih tinggi daripada sekedar uang.

Yang tidak pernah kami duga adalah, betapa ukuran kita dalam menjadi orang, sudah ditentukan oleh pandangan orang. Jadi, menuruti pandangan orang adalah kesibukan kami hingga kini. Bahkan, cara melayat kematian pun seringkali didikte oleh pandangan orang. Muka harus kelihatan sedih, kepala harus banyak menunduk, dan kalu perlu memakai kacamata hitam. Semua ini tidak selalu demikian karena bukan lagi soal begitu sedihnya terhadap yang mati, tapi lebih karena khawatir melanggar pandangan orang.

Pandangan orang itu akhirnya melebarjauh ke ceruk-ceruk hidup kita, jika sedang mendapat giliran menjadi tuan rumah arisan, misalnya, hidangan yang kita suguhkan haruslah sesuai dengan standar padangan orang. Setidaknya menyamai apa yang sudah menjadi kebiasaan tetangga, syukur malah melebihi. Tak peduli seberapa repot dan mahal untuk ukuran kantong kita, pandangan orang itu harus dipenuhi, kalau kita masih ingin disebut orang.

Jika dikampung kita dituakan, apalagi dianggap tokoh, hati-hatilah karena harus memiliki banyak dana talangan. Jika warga menarik donatur , memberi adalah wajib hukumnya, dan harus paling besar pula. Dalam menyelenggarakan upacara selamatan pun harus berbeda menunya dari warga biasa. Jika harus mengisi amplop untuk pemimpin doa, harus lebih besar daripada standarnya,hahaha...!

Lebih-lebih jika kita sudah dikenal sebagai orang kaya. Syarat-syaratnya harus selalu dipenuhi. Terhadap si kaya, tak boleh ada anggapan sedang susah, apalagi kehabisan duit. Kehidupan harus tampak serba mudah, serba bikin iri. Sudah menjadi kewajiban orang yang dianggap kaya ini setiap kali harus bikin iri tetangganya. Mobil harus berganti-ganti, dan jika makan bersama harus menjadi juru traktirnya. Jangan lupa pula, harus royal memberi uang kepada kolega karena begitulah pandangan orang terhadap orang kaya. Jadi, meskipun kenyataanya kita ni tidak sekaya yang dipandang orang, tapi demi menyesuaikan diri dengan pandangan mereka, kita harus benar-benar menjadi kaya sungguhan, kalau perlu dengan berbagai cara.

Begitu pula ketika kita dipandang sebagai orang pintar, kepintaran itu harus terus nampak dimata mereka. Pemilihan kata pun harus diatur sedemikian rupa agar mencerminkan kecerdasan kita. Jika berdebat, kita tidak boleh kalah. Jikapun mengalahkan lawan harus dengan jelas agar memperlihatkan betapa pintarnya kita dan betapa gobloknya mereka. Karena jika standar semacam initidak kita penuhi, apalah jadinya pandangan orang terhadap kita, Jadi, betapa melelahkan hidup dengan mengikuti pandangan orang!!!

Orang yang Berhitung


Kini saya coba sharing tentang sikap menghargai. Lagi-lagi buku sang budayawan menjadi referensiku. baiklah kawan dalam diri kita selalu ada mental berhitung, perhitungan yang saya maksud bukanlah terkait dengan aritmatika berupa tambah, kali, dan bagi melainkan melainkan menghitung orang lain tak lebih sebagai alat. Alat untuk sekedar menuju kepentingan yang menurut kita lebih strategis dan lebih berharga. Saya sendiri tidak terlepas dari godaan seperti itu.

Di sebuah keramaian misalnya, ketika saya sendirian dan belum menemukan seorang teman yang saya anggap sepadan, kedatangan seseorang yang menawarkan obrolan kepada saya akan saya sambut dengan keramahan sempurna. Ia adalah penyelamat dari kesendirian dan kepadanya saya tawarkan seluruh gairah saya untuk kemudian, ketika orang lain muncul dan menurut saya orang itu lebih berharga, dan kebetulan saya mengenalnya, orang ini langsung saya campakan begitu saja. Tentu, saya telah melakukan basa-basi seperlunya, tetapi betapapun lengkap basa-basi saya, pasti tak menghindarkan perasaan orang ini dari rasa terluka. Perasaan di rendahkan dan diramahi jika Cuma kalau diperlukan.

Saya sungguh minta maaf kepada orang-orang yang telah saya lukai ini, yang berapa jumlahnya tidak pernah saya tahu. Tetapi, saya yang kadang melukai itu juga adalah saya yang suatu kali bisa pula dilukai oleh persoalan serupa. Diluar kedudukan saya sebagai pelaku, kadang saya juga menjadi korban. Ini membuktikan bahwa mental hitung-hitungan ini bisa menimpa setiap orang

Lagi-lagi disebuah pertemuan, kini giliran sayalah yang menemani seseorang yang saya sangka terhormat sehingga tidak layak dibiarkan duduk sendirian. Orang ini menyambut dengan suka cita kedatangan saya dan mengobrolah kami dengan keakraban seolah kawan yang setara kedudukanya. Tetapi, orang terhormat yang ramah itu spontan menjadi gugupnya ketika dihadapanya muncul seorang yang lebih terhormat lagi, dan kepadanyalah dia lalu berasyik masyuk sambil meninggalkan saya sendirian.

Sudah tentu saya amat dilukai. Saya seperti pasangan yang ditinggal kawin lagi hanya karena kalah berharga dibanding kompetitor baru yang lebih terang pamornya. Saya menikmati betul perasaan semacam itu karena saya juga ingat betul, begitulah pasti perasaan orang-orang yang pernah saya tinggalkan untuk selingkuh dengan pasangan pergaulan baru yang menurut saya lebih terhormat kedudukanya itu.

Kini,  dari kesakitan sebagai pihak yang ditinggalkan itu, saya juga merasa betapa jahatnya ketika sedang meninggalkan. Apalagi jika alasan peninggalan iu Cuma karen ukuran bahwa yang satu saya sangka lebih terhormat ketimbang yang lain., yang ini lebih strategis daripada yang itu, dan yang sana lebih menguntungkan dari yang ini. Orang-orang yang saya anggap menguntungkan itu bisa jadi memang menguntungkan. Tetapi, jika keuntungan yang di situ harus saya tebus dengan melukai orang yang di sini, saya jadi ngeri sendiri. Ngeri jika di mata si luka saya ini sekedar orang yang mudah sekali berpindah ke lain hati Cuma karena keuntungan yang belum tentu berarti itu. Kini, saya sedang belajar untuk menghargai orang bukan dari kalkulasi untung dan rugi, melainkan karena ada dasarnya, SETIAP ORANG AMAT LAYAK UNTUK DIHARGAI !!!

Monday, October 1, 2012

Ketika Saya Membaca Sebuah Buku


Buku tentang rumus kesuksesan itu menarik hati saya. Terutama karena ia dibuka dengan pengantar betapa mengesankan cara-caranya memberi tips kesuksesan itu nanti. Betapa berbeda buku yang ditulisnya ini dengan ribuan buku tentang kesuksesan lainnya yang telah ada sebelumnya. Aneka buku yang disebutnya dangkal dan mengerikan. Penuh mantera ajaib tentang kesuksesan, bahwa seolah-olah meraih sukses itu semudah menekan tombol lampu. Sungguh berbeda dengan buku yang ditulisnya itu. Buku yang ia sebut sebagai ketulusan, berisi pengalaman nyata dan amat praktis dalam mengubah hidup pembacanya. Buku yang dijamin akan membuat nasib seseorang berubah jika benar-benar mematuhi instruksinya. Dan buku itu dibuat bersambung Cuma untuk bisa membaca jurus terakhirnya. Buku ini juga berujung pada tawaran bahwa seorang akan menjadi lebih sukses jika sehabis membaca buku ia datang ke seminarnya, dan harus membayar pula,hahahaha!

Saya tertarik pada buku ini karena inilah buku yang kesekian yang saya baca tentang betapa sulitnya mencegah diri sendiri untuk tidak meninggikan diri sambil merendah-rendahkan sesama. Kenapa untuk menunjukan resep kesuksesan bikinan sendiri itu, kurang lengkap rasanya jika tidak sambil meremehkan ramuan resep kesuksesan orang lainya.

Kehebatan ini rasanya tidak sempurna jika kita tidak membandingkanya dengan kekurangan orang lain. betapa dekat kita dengan gaya seperti ini begitu juga dengan saya kadangkala gaya seperti ini melekat dalam keseharian tanpa disadari :”zaman saya dulu....”, lalu selebihnya, betapa zaman itu kedisiplinan hidupnya tinggi. Tidak seperti generasi sekarang yang sekali bentak lalu putus asa dan mati. “ tidak seperti cara saya dulu...”, cara yang menurut kita sulit ditiru karena membutuhkan ketekunan yang teruji. “ hanya orang-orang yang benar-benar kuat yang akan  lulus dari ujian itu”, Kata kita.

Sungguh, kekurangan pihak lain memang menjadi lauk-pauk yang lezat bagi kemegahan diri sendiri. Tanpa menyertakan kekurangan pihak lain, kehebatan kita sendiri tidak akan cukup memuaskan. Oleh karena itu, kepada kita yang tengah hebat, tidak cukup hanya dengan mengatakan bahwa beginilah latihan saya, beginilah proses saya, jalan inilah yang saya tempuh dan lain-lain, dibelakang pernyataan itu biasanya masih harus kita sertakan: sungguh berbeda dari jalan yang generasimu tempuh, sangat jauh dari apa yang kalian lakukan, di zaman kalian semua serba enak, menang dapet bonus, tempat latihan memadai, semua pihak mendukung dan lain sebagainya sangat berbeda dengan zaman saya dulu... sangat berbeda dengan zaman saya dulu!

Di zaman saya?wahhh... boro-boro bonus, ditepuk punggungnya sebagai tanda terimakasih pun sudah luar biasa, berbeda dengan zaman sekarang. zaman sekarang enak, mau kuliah bisa cepat sekali lulus, zaman saya dulu untuk bertemu dengan dosen saja susahnya minta ampun. Atau organisasi yang kalian pegang hari ini sudah sangat baik karena pada zaman saya dulu anggota organisasi begitu mati-matian berjuang, era sekarang justru sangat menurun kualitasnya, semua serba berbeda dari zaman saya dulu...sangat berbeda dari zaman saya dulu!

Ya..kita memang sering membangun kemegahan dengan kelemahan sesama sebagai pondasinya.

Keteladanan Dari Teman-Teman

Kali ini kita bicara soal keteladanan. Referensi saya masih dari buku catatan sang penggoda indonesia yang saya baca beberapa waktu yang lalu. Berikut ini adalah keteladanan yang saya rekam diam-diam dari sahabat dan orang-orang dekat . ada teman yang saya kagumi karena orang ini tidak mau didikte oleh perasaan. Terapinya sungguh sederhana, jika tubuhnya lesu, ia memaksa untuk terus bergerak kalau perlu sampai berjingkrak-jingkrak seperti orang gila. Cara sederhana inilah yang saya duga telah merubah seluruh hidupnya menjadi yang saya kenal sekarang.

Orang ini tidak mengenal Anthony robbins penulis unlimited power yang hebat itu. Ia sama sekali tidak mengenal ajaran robbins bahwa motion bisa mengubah emotion, bahwa menciptakan kesegaran bisa dimulai dari gerakan. Yang ia tahu, bahwa mengusir kelesuan itu gampang, asal seseorang mau bergerak. Dan ia menjadi ketagihan bergerak karena hasilnya bukan Cuma kesegaran tapi juga kegembiraan. Jadi, orang ini amat mudah bergembira dan orang-rorang disekitarnya mudah pula tersulut gairahnya.

Jadi, tak banyak sebetulnya yang ia kerjakan. Cuma satu saja, bergembira. Tapi, yang tak pernah saya dug adalah betapa gampang energi gembira itu menyebar kemana-mana.sepanjang dia ada , ada saja gelak tawa bersama. Ia tak punya potensi menghibur teman, juga tidak sedang sok bahagia daripada orang lain. ia Cuma sedang menerangkan apa yang ia rasakan, bergembira. Melihat orang yang sedang bergembira, ternyata memang jauh lebih menggembirakan ketimban memandangi orang yang tengah mengeluh dan sengsara. Dari hasil kegembiraan itu saja, saya menduga ia telah menuai banyak hal, mulai dari teman, rejeki, dan hidup yang tidak penuh persoalan.

Teman saya kedua, kebalikan dari teman pertama. Ia orang yang pasif dan amat pendiam. Baru kali ini saya mengerti betapa hebat energi diam itu, terutama jika digunakan untuk mendengar. Semua orang doyan bicara, tapi sedikit saja manusia yang doyan mendengar. Maka dalam soal mendengar, orang ini hampir tanpa saingan. Semua orang yang doyan bicara itu akan menemukan zona kenyamanan bila bertemu orang ini.

Semua jenis omongan sepertinya dia sanggup mendengarkan. Semua orang menjadi betah bicara didepanya karena didengarkan. Maklum, kesukaan untuk didengar memang hobi setiap orang dari berbagai status dan keadaan. Orang susah butuh bicara soal kesusahanya, yang gembira butuh mengabarkan kegembiraanya, bahkan para pembohong pun butuh didengar kebohonganya. Kemampuan mendengar orang ini membuat setiap orang merasa penting dan berharga.

Jadi modal orang ini juga tak banyak, Cuma mendengar. Pandai omong ia tidak, untuk melucu ia terlalu pemalu, untuk memulai pembicaraan a kikuk, bakat besar satu-satunya adalah pendengaranya. Dan hanya dengan modal sederhana itu, saya mengagumi apa yang telah ia capai sekarang, bukan soal kekayaan dan jumlah duitnya, tapi betapa banyak orang yang menyukainya. Betapa ia dikaruniai hidup yang tenang. Jadi, betapa luar biasa energi dim yang tampaknya tidak seberapa itu.

Jika Cuma dengan satu modal saja, dua teman itu telah meraih mutu hidup yang menggembirakan, teman ketiga yang ingin saya ceritakan ini malah memliki tiga modal sealigus. Pertama ia pintar bicara, kedua sopan, ketiga dermawan. Sungguh gabungan modal yang luar biasa . begitu pintarnya dia berbicara sehingga lawan main tak pernah mendapat giliran. Jika pun si lawan hendak mengambil bagian, buru-buru dibantahnya, untuk kembali dia pula yang mengambil alih keadaan.

Celakanya, si lawan bicara ini tak berdaya karena kalah oleh sopan santunnya. Sudah sopan, ia gemar mentraktir pula. Jika suatu kali makan bersama, ia selalu tak boleh kalah beradu cepat menuju kasir. Dan jika pun ada teman yang mendahului kasir ia harus kecewa karena teman ketiga inisudah menitikan uang sebelunya, betapa hebat modal orang ini, pintar bicara, dermawan, dan sopan pula

Tapi, anehnya, jika tidak terpaksa, pertemuan dengan orang seperti ini adalah jenis yang hendak saya singkiri. Karena sopan santunya itu membuat kita enggan membantah meskipunmeskipun kita sebal pada wataknya yang Cuma mau melulu bicara, enggan mendengar, dan malah rajin pula menasehati. Nasihatnya, meskipun tak kita butuhkan, harus tetap kita dengarkan karena ia habis mentraktir makan. Jadi, kesopanan dalam kedermawanan itu adalah alat penindas yang menakutkan karea kita terlajur tak tega untuk melawan.

Tapi, semuanya adalah teman-teman yang saya cintai karena dari mereka saya mendapat banyak pelajaran. Betapa ada teman yang Cuma memiliki satu modal bisa demikian menyenangkan dan betapa ada teman yang memiliki tiga modal sekaligus bisa begitu memuakkan. :D