Monday, April 1, 2013

COMMUNITY ORGANIZING

Akhir-akhir ini saya sangat tergoda mempelajari konsep-konsep “anti mainstream” yang mungkin saat ini tidak menjadi kajian yang seksi untuk diangkat dalam ruang-ruang diskusi. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah mengenai konsep pendampingan masyarakat. Di lingkungan Universitas seperti yang kita ketahui terdapat kewajiban untuk mengangkat isu ini, bagaimana universitas sebagai lembaga pendidikan harus memberikan kontribusinya bagi lingkungan sekitar dan masyarakat secara umum. Tertuang dalam tri dharma perguruan tinggi yakni pengabdian. Terminologi pengabdian pun kemudian didefinisikan sebagai pemberdayaan kepada masyarakat yang didalamnya ada proses pendampingan, pendekatan yang lazim digunakan adalah Community Development atau sering disebut ComDev/CD. Selain ComDev ada pendekatan yang cukup berbeda yang lazim digunakan dalam dunia gerakan yakni Community Organizing atau disingkat CO. kedua pendekatan ini secara sepintas hampir sama, namun sebenarnya mempunyai prinsip yang berbeda.

Banyak kaum intelektual yang kemudian mencoba memberi definisi Community Development dan Community Organizing , Tidak  jarang istilah yang satu tidak bisa dibedakan dengan yang lain. Karena dalam prakteknya saling tumpang tindih, saling menggantikan dan mengacu pada suatu pengertian yang serupa. Kadang orang menyatakan bahwa CD (community Development) lebih baik dibandingkan dengan CO (Community Organizing) atau jauh lebih baik, atau pun sebaliknya. Ini sangatlah wajar. Karena munculnya istilah-istilah tersebut tidak terlepas dari kurun waktu dan setting social tertentu. Kemunculan istilah-istilah tersebut juga dipengaruhi dan membawa seperangkat cara pandang, pendekatan, dan framework yang “kemungkinan” berbeda-beda. Inilah yang disebut dengan paradigma berfikir. Kemenangan satu paradigma atas paradigma yang lain biasanya  lebih  banyak disebabkan karena para pendukung dari paradigma yang menang itu memiliki kekuatan dan kekuasan (power) dibandingkan pengikut paradigma yang dikalahkan. Bukan karena paradigma mereka (yang menang) lebih baik dari yang dikalahkan. Seperti kedua pendekatan yang sedang dibahas ini, ComDev memang lebih banyak diangkat daripada CO, tapi bukan berarti ComDev lebih baik dari CO, berikut deskripsi singkat kedua pendekatan tersebut…
  
Community Development (ComDev)
Pendekatan pertama yang lazim digunakan saat ini oleh kebanyakan perguruan tinggi dan gerakan-gerakan didalamnya adalah Sebuah  konsep pengembangan atau pembangunan komunitas yang disebut Community Development  atau ComDev. Pendekatan ini sudah lahir sejak tahun 1960-an. Pada saat ini, banyak pihak kemudian mengatakan inilah pemberdayaan masyarakat. Pada prinsipnya ComDev tidak bertujuan untuk mencari dan menetapkan solusi, struktur penyelesaian masalah atau menghadirkan pelayanan bagi masyarakat. Com Dev adalah bekerja bersama masyarakat sehingga mereka dapat mendefinisikan dan menangani masalah, serta terbuka untuk menyatakan kepentingan-kepentingannya sendiri dalam proses pengambilan keputusan. Com Dev didefinisikan sebagai suatu proses yang dirancang untuk menciptakan kemajuan kondisi ekonomi dan sosial bagi seluruh warga masyarakat dengan partisipasi aktif dan sejauh mungkin menumbuhkan prakarsa masyarakat itu sendiri.

Dalam pengertian  Com Dev seperti tersebut terlihat bahwa persoalan utama adalah soal social dan ekonomi. ComDev memandang bahwa persoalan yang muncul di masyarakat bersumber pada kapasitas komunitas itu sendiri. pengembangan masyarakat berpendapat bahwa : Sumber – sumber keterbelakangan masyarakat bukan terletak pada kurangnya pendayagunaan sumber – sumber ekonomi, tetapi pada penggunaan yang salah dari sumber daya manusiawi (the wrong use of peope). Cara pandang ini melihat ComDev lebih ditekankan kepada upaya untuk mengembangkan kapasitas warga masyarakat (client-centered) daripada pemecahan masalah demi masalah (problem-centered). Bagi para perancang program pengembangan masyarakat, ComDevt berarti program pendidikan bagi masyarakat untuk mampu mengaktualisasikan dirinya sendiri dalam program-program pembangunan.

Community Organizing (Co)
Di Indonesia, aktifitas CO sudah dilakukan sejak lama. Pada jaman pergerakan nasional muncul tokoh-tokoh utama yang melakukan proses pengorganisasian masyarakat untuk tujuan membangun perjuangan rakyat. Sebut saja Haji Misbach di Surakarta, yang mampu melancarkan aksi-aksi pemogokan sebagai bentuk penentangan terhadap kedzaliman penjajahan Belanda. Pada saat itu, proses Community Organizing berujung pada pembentukan organisasi kerakyatan sebagai symbol perlawanan dan symbol perjuangan kaum kecil. Namun, proses CO ini mengalami kemunduran setelah Indonesia Merdeka.

Pada saat ini, konsep dari pemikiran dan pola kerja Community Organizing tersebut menjadi populer kembali. Kemunculan konsep CO ini merupakan sebuah reaksi atas praktek-praktek pembangunan atau “modernisasi” yang ternyata berujung pada terinjak-injaknya martabat kemanusiaan dan pengurasan secara dahsyat berbagai sumber daya alam untuk kepentingan sekelompok kecil manusia di bumi ini.  Saul Alinsky dan Paulo Freire adalah sebagian dari tokoh-tokoh yang mengangkat kembali, dan mempraktekkan pemikiran dan pola kerja Community Organizing.  

Intisari dalam Community Organizing dapat dilihat pada penggalan kalimat yang cukup popular seperti ini: “Perhatikan sungguh-sungguh gagasan yang datang dari rakyat, yang masih terpenggal dan belum sistematis. Pelajari gagasan tersebut bersama mereka, sehingga menjadi Gagasan yang lebih sistematis. Menyatulah dengan rakyat. Kaji dan jelaskan kembali gagasan yang  datang dari mereka itu, sehingga mereka benar-benar paham bahwa gagasan itu milik mereka. Terjemahkan gagasan tersebut menjadi aksi, dan uji kebenaran gagasan tadi melalui aksi. Begitu seterusnya di ulang-ulang secara ajeg, agar gagasan tersebut menjadi lebih benar, lebih penting dan lebih bernilai sepanjang masa. Demikian itulah membangun ILMU PENGETAHUAN RAKYAT” . Kalimat  ini merupakan intisari pemikiran utama dalam CO, yakni: pertama, Masyarakat memiliki daya dan upaya untuk membangun kehidupannya sendiri. Kedua, Masyarakat memiliki pengetahuan dan kearifan tersendiri dalam menjalani kehidupannya secara alami. Ketiga, Upaya pembangunan masyarakat akan efektif apabila melibatkan secara aktif seluruh komponen masyarakat sebagai pelaku sekaligus penikmat pembangunan, serta Masyarakat memiliki kemampuan membagi diri sedemikian rupa dalam peran peran pembangunan mereka.

Strategi dasar dalam Community Organizing adalah dengan jalan: pertama, Menempatkan masyarakat sebagai SUBYEK utama pembangunan, baik dalam proses maupun pencapaian hasil pembangunan. Kedua, Gagasan suatu pembangunan masyarakat harus mengacu pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri; ketiga, Pembangunan harus bertumpu pada potensi dan kemampuan masyarakat.

Belajar dari kesejarahan baik yang berkembang di Indonesia pada zaman pergerakan maupun mengaca pada sejarah kenabian Muhammad SAW,  Community Organizing dimulai dan focus pada lingkungan masyarakat marjinal. Lihat bagaimana Haji Misbach mulai dengan mengorganisir petani tebu dan buruh kereta api. Community Organizing saat itu, bekerja dengan mengajak komunitas atau masyarakat untuk membongkar bungkus alienasi (keterasingan) dan marjinalisasi (penyisihan) dengan jalan memerdekakan, melepaskan diri dari proses pembodohan dan pemiskinan yang sudah terjadi secara sistematis dan terstruktur. Kegiatan Community Organizing haruslah mampu memberikan pencerahan (enlighment) dan penyadaran kepada komunitas bahwa kehidupan adalah milik bersama. Coba perhatikan surah Al Maun, apa kira-kira inti pengajaran yang termaktub dalam ayat-ayat yang terkandung di dalamnya. Berangkat dari penafsiran atas ayat-ayat seperti inilah dulu Haji Misbach melakukan pergerakan social, seperti juga Haji Ahmad Dahlan yang menggunakan Surah Al Maun sebagai dasar gerakan dalam persyarikatan Muhammadiyah.

Selain hal tersebut, yang tidak kalah pentingnya, Community Organizing (CO) haruslah melahirkan sebuah kesadaran kritis (critical conciusness) sekaligus mampu mengingatkan orang terhadap kecenderungan konsumtif, selalu mencari kemudahan dan pragmatis. Sehingga tidak lagi memiliki daya kreasi dan kemandirian dalam menjalani dan mensikapi kehidupan ini. Jadi Community Organizing bukan sekedar memobilisasi massa untuk suatu kepentingan, tetapi suatu proses pergaulan/pertemanan/persahabatan dengan suatu komunitas atau masyarakat yang lebih menitik-beratkan pada inisiatif massa kritis untuk mengambil tindakan-tindakan secara sadar dalam mencapai perubahan yang lebih baik.

Prinsip utama dalam Community Organizing, menurut beberapa tokoh yang merumuskan tentang metodologi CO sepakat menggunakan ajaran Lao Tze (700 sm) yang lebih kurang berbunyi sebagai berikut :
“Datanglah kepada rakyat, hiduplah bersama mereka,belajarlah dari mereka, cintailah mereka, mulailah dari apa yang mereka tahu; bangunlah dari apa yang mereka punya; tetapi Pemimpin yang baik adalah, ketika pekerjaan selesai dan tugas dirampungkan, rakyat berkata, “Kami sendirilah yang mengerjakannya”.

Berdasarkan pada ajaran Lao Tze tersebut, maka prinsip yang harus dipegang dan dijadikan pedoman dalam berpikir dan berbuat bagi seorang aktifis yang menjalankan kerja-kerja CO adalah : pertama, Membangun pertemanan/persahabatan dengan komunitas atau masyarakat. Kedua, Bersedia belajar dari kehidupan komunitas bersangkutan. Ketiga, Membangun komunitas atau masyarakat dengan berangkat dari apa yang ada atau dimiliki oleh komunitas tersebut. Keempat, Tidak berpretensi untuk menjadi pemimpin dan “tetua” dari komunitas tersebut. Kelima, Mempercayai bahwa komunitas memiliki potensi dan kemampuan untuk membangun dirinya sendiri hingga tuntas.

Dari sini menjadi cukup jelas, apa bentuk-bentuk perbedaan antara Community Development dan Community Organizing. Meskipun ada bentuk-bentuk perbedaan, sebenarnya bukanlah suatu persoalan “Benar-Salah”. Semoga menjadi satu khazanah baru bagi kawan-kawan yang concern di bidang ini, sekaligus membuka cakrawala berfikir mengenai metodologi dalam proses pendampingan kepada masyarakat…MARI BERBAGI, MARI MENGABDI!!!

*diambil dari berbagai sumber