Sekarang ini, di banyak tempat, di banyak
kompleks perumahan, di kampung-kampung dan kawasan-kawasan rumah mewah, reaksi
terhadap pemulung nampaknya mulai seragam. Di mulut-mulut gang mulai tertera
peringatan yan sama; pemulung dilarang masuk!
Ada apa ini?ditilik dar peran pemulung,
tulisan ini sungguh merupakan kekeliruan. Tana pemulung, daur ulang sampah akan
mengalami persoalan. Merekalah sejatinya “bakteri”pengrai yang menyehatkan
ekosistem. Tapi, begitulah watak kita terhadap bakteri. Kita meremehkanya hanya
karena mereka berada di tempat-tempat yang kotor dan busuk. Padahal, tanpa
pembusukan, betapa akan menjadi mudah penuh jagat raya ini oleh remah-remah
bikinan manusia. Jasi, betapa gegabah jika pemulung diharamkan begitu saja.
Tanpa pemulung, sulit membayangkan
pemerintah bisa mengatasi persoalan sampahnya sendirian. Kasus TPA bantar
gebang misalnya, membuktikan bahwa jakarta hanya bisa membuang sampah tapi
kesulitan mencari tong sampah, perasaan Cuma menjadi tong sampah itulah yang
membuat bekasi tergoda untuk marah.
Kasus di bandung utara dulu menegaskan
kepada kita, betapa sampah lebih dari sekedar kotoran. Ia adalah bencana.
Terutama kalau sudah menggunung bertahun-tahun. Dan gunungan itu begitu
tingginya. Ketika sempitnya lahan tak kuat lagi menyangga ketinggiannya, maka
longsonran sampah bisa setara dengan gempa. Ia sanggup melumat sebuah desa.
Jadi, lewat dasar apa gerangan pelarangan
terhadap pemulung ini bermula. Oo,ternyata oleh kejengkelan semata. Jengkel,
karena pemulung yang bisa beroperasi di pagi buta itu ternyata juga pihak yang
bisa menggondol jemuran, mengangkut sandal, dan sepatu-sepatu di pagar pintu.
Ada memang, jenis karung pemulung itu yang tidak Cuma berisi kardus bekas,
plestik-plastik rombeng, tapi juga ember dan panci-panci baru. Seorang pemulung
merangkap menjadi seorang penilep.
Tapi, jika seluruh pemulung adalah
pencuri, jumlah curiannya pasti akan setara dengan jumlah seluruh pembobolan
bank di indonesia. Padahal, jika harus menyamai jumlah pembobolan bank itu, seluruh
pemulung harus mencuri setiap hari secara bersama-sama pula, sampai hari kiamat
tiba, dan ini pasti mustahil.
Maka para penilep itu pasti Cuma ulah para
oknum belaka. Sayangnya, di dalam dunia pemulung, tidak pernah kita kenakan
sebutan oknum. Oknum itu Cuma kita kenakan kepada profesi yang menurut kita
hebat-hebat dan terhormat seperti polisi, tentara, dokter, wartawan, hakim,
pengacara dan sebagainya. Tapi, karena kita tidak ingin berperkara dengan
mereka, kita selalu menyebutnya oknum jika kita dapati ada polisi menjadi
tukang palak pada orang yang tengah berperkara, ada tentara mengamuk di panti
pijat, ada hakim berjualan perkara, ada pengacara Cuma mengulur-ulur perkara.
Orang-orang itu bukan polisi lagi,bukan tentara,bukan hakim, bukan pengacara,tapi
oknum!haha..
Kita tentu setuju karena di setiap profesi
pasti menyimpan para juara. Ada polisi juara, ada hakim juara, ada pengacara
dan tentara juara. Kita bisa mengerti atas sebutan penyimpanan itu sebagai ulah
oknum. Tapi, kenapa kepada pemulung tidak pernah kita kenakan kata oknum.
Ini sungguh tidak adil. Dan ketdakadilan ini pasti karena naluri
ketakutan kita kepada yang kuat dan keangkuhan kita di hadapan yang lemah.
Padahal, berani kepada yang lemah adalah ciri-ciri manusia yang lemah. Dengan demikian,
gawat sekali keadaan kita, kalau dari kasus pelarangan terhadap pemulung ini
watak kita sebagai bangsa yang lemah tertebak!hahahaha....
0 komentar:
Post a Comment