Belum
pernah saya hitung, berapa besarkah bagian hidup yang saya gadaikan demi
melayani pandangan orang lain. karena dimanapun saya berada, pandangan orang
lain itu seperti tak henti-hentinya mengepung saya.
Ketika
kecil, saya sudah terbiasa melihat anggota keluarga sibuk melayani pandangan
orang lain ini dengan berbagai
variasinya. Jika jarang keluar rumah
dan enggan ngobrol berlama-lama dengan tetangga, kami takut dipandang sebagai
seorang yang “tidak umum”. Jika diri sendiri punya hajat, harus pula menurut
hukum pandangan tetangga. Harus menggelar pesta, mengundang banyak orang dan
mengumpulkan sanak saudara. Tak peduli apakah untuk itu kita harus berhutan,
pesta semacam itu telah merupakan keharusan karena memang menurut pandangan
orang.
Jika
kenalan ganti punya hajat, betapapun jauh rumahnya, kita harus memaksa diri
datang bagaimanapun keadaan kita. Bukan Cuma karena perasaan tidak enak pada si
empunya hajat, tetapi juga kepada semua tetangga lain, yang kompak berdatangan.
Jika kita tidak ikut-ikutan, takutlah kita akan tudingan.
Dituding
seperti ini itu, betapa mengerikan. Untuk itu, apa saja bisa kita lakukan,
apalagi jika Cuma harus berhutang. Sejak kecil kepada kami telah diajarkan “
ketimbang kalah orang, mending kalah barang”. Tentu, kami harus bersepakat
bahwa orang memang harus dihargai lebih tinggi daripada barang. Kehormatan
harus lebih tinggi daripada sekedar uang.
Yang
tidak pernah kami duga adalah, betapa ukuran kita dalam menjadi orang, sudah
ditentukan oleh pandangan orang. Jadi, menuruti pandangan orang adalah
kesibukan kami hingga kini. Bahkan, cara melayat kematian pun seringkali
didikte oleh pandangan orang. Muka harus kelihatan sedih, kepala harus banyak
menunduk, dan kalu perlu memakai kacamata hitam. Semua ini tidak selalu
demikian karena bukan lagi soal begitu sedihnya terhadap yang mati, tapi lebih
karena khawatir melanggar pandangan orang.
Pandangan
orang itu akhirnya melebarjauh ke ceruk-ceruk hidup kita, jika sedang mendapat
giliran menjadi tuan rumah arisan, misalnya, hidangan yang kita suguhkan
haruslah sesuai dengan standar padangan orang. Setidaknya menyamai apa yang
sudah menjadi kebiasaan tetangga, syukur malah melebihi. Tak peduli seberapa
repot dan mahal untuk ukuran kantong kita, pandangan orang itu harus dipenuhi,
kalau kita masih ingin disebut orang.
Jika
dikampung kita dituakan, apalagi dianggap tokoh, hati-hatilah karena harus
memiliki banyak dana talangan. Jika warga menarik donatur , memberi adalah
wajib hukumnya, dan harus paling besar pula. Dalam menyelenggarakan upacara
selamatan pun harus berbeda menunya dari warga biasa. Jika harus mengisi amplop
untuk pemimpin doa, harus lebih besar daripada standarnya,hahaha...!
Lebih-lebih
jika kita sudah dikenal sebagai orang kaya. Syarat-syaratnya harus selalu
dipenuhi. Terhadap si kaya, tak boleh ada anggapan sedang susah, apalagi
kehabisan duit. Kehidupan harus tampak serba mudah, serba bikin iri. Sudah
menjadi kewajiban orang yang dianggap kaya ini setiap kali harus bikin iri
tetangganya. Mobil harus berganti-ganti, dan jika makan bersama harus menjadi
juru traktirnya. Jangan lupa pula, harus royal memberi uang kepada kolega
karena begitulah pandangan orang terhadap orang kaya. Jadi, meskipun
kenyataanya kita ni tidak sekaya yang dipandang orang, tapi demi menyesuaikan
diri dengan pandangan mereka, kita harus benar-benar menjadi kaya sungguhan,
kalau perlu dengan berbagai cara.
Begitu
pula ketika kita dipandang sebagai orang pintar, kepintaran itu harus terus
nampak dimata mereka. Pemilihan kata pun harus diatur sedemikian rupa agar
mencerminkan kecerdasan kita. Jika berdebat, kita tidak boleh kalah. Jikapun
mengalahkan lawan harus dengan jelas agar memperlihatkan betapa pintarnya kita
dan betapa gobloknya mereka. Karena jika standar semacam initidak kita penuhi,
apalah jadinya pandangan orang terhadap kita, Jadi,
betapa melelahkan hidup dengan mengikuti pandangan orang!!!
0 komentar:
Post a Comment