Tuesday, October 2, 2012

Pandangan Orang Lain


Belum pernah saya hitung, berapa besarkah bagian hidup yang saya gadaikan demi melayani pandangan orang lain. karena dimanapun saya berada, pandangan orang lain itu seperti tak henti-hentinya mengepung saya.

Ketika kecil, saya sudah terbiasa melihat anggota keluarga sibuk melayani pandangan orang lain ini dengan berbagai  variasinya.  Jika jarang keluar rumah dan enggan ngobrol berlama-lama dengan tetangga, kami takut dipandang sebagai seorang yang “tidak umum”. Jika diri sendiri punya hajat, harus pula menurut hukum pandangan tetangga. Harus menggelar pesta, mengundang banyak orang dan mengumpulkan sanak saudara. Tak peduli apakah untuk itu kita harus berhutan, pesta semacam itu telah merupakan keharusan karena memang menurut pandangan orang.

Jika kenalan ganti punya hajat, betapapun jauh rumahnya, kita harus memaksa diri datang bagaimanapun keadaan kita. Bukan Cuma karena perasaan tidak enak pada si empunya hajat, tetapi juga kepada semua tetangga lain, yang kompak berdatangan. Jika kita tidak ikut-ikutan, takutlah kita akan tudingan.

Dituding seperti ini itu, betapa mengerikan. Untuk itu, apa saja bisa kita lakukan, apalagi jika Cuma harus berhutang. Sejak kecil kepada kami telah diajarkan “ ketimbang kalah orang, mending kalah barang”. Tentu, kami harus bersepakat bahwa orang memang harus dihargai lebih tinggi daripada barang. Kehormatan harus lebih tinggi daripada sekedar uang.

Yang tidak pernah kami duga adalah, betapa ukuran kita dalam menjadi orang, sudah ditentukan oleh pandangan orang. Jadi, menuruti pandangan orang adalah kesibukan kami hingga kini. Bahkan, cara melayat kematian pun seringkali didikte oleh pandangan orang. Muka harus kelihatan sedih, kepala harus banyak menunduk, dan kalu perlu memakai kacamata hitam. Semua ini tidak selalu demikian karena bukan lagi soal begitu sedihnya terhadap yang mati, tapi lebih karena khawatir melanggar pandangan orang.

Pandangan orang itu akhirnya melebarjauh ke ceruk-ceruk hidup kita, jika sedang mendapat giliran menjadi tuan rumah arisan, misalnya, hidangan yang kita suguhkan haruslah sesuai dengan standar padangan orang. Setidaknya menyamai apa yang sudah menjadi kebiasaan tetangga, syukur malah melebihi. Tak peduli seberapa repot dan mahal untuk ukuran kantong kita, pandangan orang itu harus dipenuhi, kalau kita masih ingin disebut orang.

Jika dikampung kita dituakan, apalagi dianggap tokoh, hati-hatilah karena harus memiliki banyak dana talangan. Jika warga menarik donatur , memberi adalah wajib hukumnya, dan harus paling besar pula. Dalam menyelenggarakan upacara selamatan pun harus berbeda menunya dari warga biasa. Jika harus mengisi amplop untuk pemimpin doa, harus lebih besar daripada standarnya,hahaha...!

Lebih-lebih jika kita sudah dikenal sebagai orang kaya. Syarat-syaratnya harus selalu dipenuhi. Terhadap si kaya, tak boleh ada anggapan sedang susah, apalagi kehabisan duit. Kehidupan harus tampak serba mudah, serba bikin iri. Sudah menjadi kewajiban orang yang dianggap kaya ini setiap kali harus bikin iri tetangganya. Mobil harus berganti-ganti, dan jika makan bersama harus menjadi juru traktirnya. Jangan lupa pula, harus royal memberi uang kepada kolega karena begitulah pandangan orang terhadap orang kaya. Jadi, meskipun kenyataanya kita ni tidak sekaya yang dipandang orang, tapi demi menyesuaikan diri dengan pandangan mereka, kita harus benar-benar menjadi kaya sungguhan, kalau perlu dengan berbagai cara.

Begitu pula ketika kita dipandang sebagai orang pintar, kepintaran itu harus terus nampak dimata mereka. Pemilihan kata pun harus diatur sedemikian rupa agar mencerminkan kecerdasan kita. Jika berdebat, kita tidak boleh kalah. Jikapun mengalahkan lawan harus dengan jelas agar memperlihatkan betapa pintarnya kita dan betapa gobloknya mereka. Karena jika standar semacam initidak kita penuhi, apalah jadinya pandangan orang terhadap kita, Jadi, betapa melelahkan hidup dengan mengikuti pandangan orang!!!

0 komentar:

Post a Comment