Oleh : Suwandi
Tujuan dari penyelenggaraan otonomi khusus
pada dasarnya adalah untuk kesejahteraan masyarakat papua disamping
tujuan-tujuan lain yang mengikutinya. Untuk mencapai hal tersebut, manajemen
kewenangan, kelembagaan dan keuangan diatur sedemikian rupa untuk tercapainya
percepatan pembangunan di tanah Papua. Berikut adalah tinjauan atas aspek-aspek
tersebut :
Masalah Kewenangan dan Kelembagaan Masih
Suram
Cerita
untuk otsus Papua masih buram. Tak pernah ada kejelasan tentang desain besar
otsus Papua. Kebijakan yang muncul setelah otsus justru membuat jalan mencapai
otsus kian jauh. Melalui UU otsus Papua, pemerintah mendelegasikan
kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah disertai kucuran dana yang juga
sangat besar. Dana puluhan triliun rupiah ini di luar dana lain seperti APBD
dan dekonsentrasi. Pemerintah juga baru saja mencanangkan kebijakan khusus
untuk Papua melalui dua peraturan presiden (perpres) yang ditandatangani 20
September 2011. Pertama, Perpres Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan
Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Kedua, Perpres Nomor 66 Tahun 2011
tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Perpres itu
dilengkapi dokumen rinci berjudul Rencana Aksi yang Bersifat Cepat Terwujud
Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun 2011-2012.
Langkah pemerintah membentuk UP4B menurut
Julian Pasya[1],
sebagai upaya pendekatan kesejahteraan bagi penyelesaian persoalan Papua. Jika
benar demikian, mengapa Kepala UP4B seorang jenderal? Selain itu, setiap kali
ada persoalan di Papua, mengapa Menko Polhukam, Kapolri, dan BIN yang dikirim
ke Papua? Mengapa bukan Menko Kesra, Mendikbud, atau Menkes? Pertanyaan ini
seolah menegaskan bahwa ada ketidakberesan dalam upaya pembangunan untuk
kesejahteraan masyarakat Papua.
Bagaimana mungkin membayangkan
kesejahteraan yang dijanjikan untuk Papua diucapkan dari mulut seorang tentara?
Ini indikasi bahwa belum ada upaya serius menciptakan kesejahteraan di Papua.
Problema itu muncul salah satunya karena persoalan identitas di Papua belum
tuntas. Dana otsus sejak 2002 tak hanya gagal menghentikan tuntutan merdeka,
tetapi justru menyebar di tingkat publik. Jika dulu merdeka hanya tuntutan
elite, sekarang menjadi menu obrolan di tingkat rakyat.
Seperti yang dikemukakan oleh Bayu Darsias[2],
wewenang yang mengatur tentang Papua justru menimbulkan masalah baru terkait
perebutan wewenang atau saling lempar tanggung jawab. Pembentukan PP sebagai
tindak lanjut UU otsus sangat lambat. Selain itu, perdasus dan perdasi penting
juga gagal dibuat. Jakarta menunjuk Papua tak becus memanfaatkan limpahan
kewenangan, Papua menunjuk Jakarta karena tak serius menerbitkan aturan
pelaksanaan.
Thus, di Jakarta, tak bisa ditemukan
pemerintah pusat. Ketika muncul masalah Papua, tak jelas pembagian kewenangan
antara UP4B, Kemendagri, Desk Papua di Menko Polhukam, staf khusus Velix
Wanggai, atau utusan khusus Farid Husain. Seluruh lembaga ini tak saling sapa
dan duduk bersama mendiskusikan persoalan Papua. Justru aparat keamanan yang
dikirim. Satu lagi bahwa memang ada masalah serius dalam hal pembagian
kewenangan dan kelembagaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan di tanah Papua.
Persoalan tidak berhenti disitu, Persoalan
wewenang juga muncul antara provinsi dan kabupaten/kota: tergantung mana paling
menguntungkan. Provinsi berpegang pada UU Otsus, kabupaten/kota merujuk ke UU
32/2004. Sebabnya, materi UU otsus kurang lengkap dan tak ada peraturan
pelaksanaannya. Pembentukan lembaga yang berkaitan dengan adat di Papua juga
justru menimbulkan masalah baru dan menjadi arena politik elite. Penundaan
pilkada gubernur Papua disebabkan oleh penafsiran UU Otsus yang dinilai
mengambil wewenang KPUD. Kata ”orang asli Papua” akan selalu menimbulkan
persoalan. Tindakan afirmatif ras Melanesia justru bertentangan dengan semangat
kewarganegaraan yang seharusnya menjadi dasar pembentukan negara modern.
Intinya adalah persoalan terkait
kewenangan dan kelembagaan di dalam praktek otsus harus segera dicarikan titik
temu, bagaimana desain terbaik agar tercapai sinergitas antara pemerintah
daerah, pemerintah pusat serta lembaga ad hoc yang ada bisa terjalin dengan
baik. Agar kesejahteraan yang dicita-citakan masyarakat Papua dapat terwujud.
Dana Otsus Papua dan Implikasinya Terhadap
Kesejahteraan
Otonomi
khusus yang berlaku di Papua sejak 2001 tidak berjalan sesuai harapan
masyarakat asli disana. Masih banyak penyimpangan disana-sini. Akibatnya tidak
ada perkembangan di sana, masyarakat Papua sering merasa tak pernah menikmati
hasil tanah kelahirannya.
Tahun
2012, Pemerintah dan DPR sepakat mengalokasikan dana otonomi khusus atau
otsus untuk Provinsi Papua sebesar Rp 3,83 triliun dan Papua Barat sebesar Rp
1,64 triliun pada tahun 2012. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Anggaran
Pendapatan Belanja Negara 2012 yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR. Dana
Otsus Papua pada 2012 itu naik sekitar 23 persen dibanding tahun 2011. Pada
tahun ini, pemerintah menganggarkan Rp 3,10 triliun untuk Papua dan Rp 1,33
triliun untuk Papua Barat. Selain dana otsus, pemerintah juga akan
mengalokasikan dana tambahan infrastruktur untuk Papua sejumlah Rp 571,4 miliar
dan Papua Barat sebanyak Rp 428,6 miliar.[3]
Kini,
pertanyaan mengenai penyaluran dana Otsus Papua pun semakin terdengar
dimana-mana. Dana otsus Papua sejak 2002 hingga 2011 sudah dicairkan pemerintah
pusat mencapai kurang lebih Rp33,1 triliun kepada Provinsi Papua dan Papua
Barat. hingga tahun 2010 BPK baru melakukan audit sebesar 66,27% dari
keseluruhan dana tersebut (atau baru sebesar Rp19,1 triliun). Dan dari proses
audit yang dilakukan telah menemukan ada indikasi penyelewengan Rp319 miliar.
Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan siap untuk mengusut dugaan
penyelewangan dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua tersebut. Tapi sampai saat ini
tidak ada realisasi aka hal itu, pemerintah terlalu takut dengan berbagai ekses
yang mungkin terjadi. Tidak ada ketegasan sehingga keadaan ini seolah dibiarkan
begitu saja tanpa ada langkah memperbaiki.
Dana otsus yang sebesar itu nyatanya belum
mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat Papua. Hingga saat ini, saya berani
jamin, Otsus tidak banyak membawa perubahan derajat kehidupan untuk masyarakat
Papua. Masyarakat mendengar tentang Otsus, dana Otsus dan janji-janji perbaikan
kesejahteraan tetapi mereka tidak pernah merasakan manfaatnya. Poin-poin
penting dalam UU Otsus seperti pemenuhan hak-hak mendasar orang Papua tidak dibarengi
dengan penafsiran yang jelas dan detail sehingga mandeg dalam impelementasi.
Penggelontoran dana langsung, menurut beberapa tokoh, justru kontraproduktif
terhadap masyarakat. Dana tersebut (dalam bentuk tunai) habis untuk konsumsi
dan bukan untuk mengembangkan perekonomian mereka. Karena mengharapkan dana
tunai tersebut masyarakat mematikan potensi inovasi dan kewirausahaan mereka.
Sementara dana yang benar-benar terarah untuk pengembangan perekonomian
kerakyatan belum tampak hingga saat ini.
Pada beberapa hal, memang ada pembangunan
di Papua. Tetapi proyek-proyek pembangunan tersebut hanya memperbesar cash
outflow bukan cash inflow, karena miskin output yang benar-benar berasal
dari Papua. Inefesiensi itu selama ini memang tidak terlihat karena lagi-lagi
bisa tertutup dengan dana Otsus yang besar.[4] Terlepas
dari itu, tentu saja tetap ada pihak yang diuntungkan dengan adanya Otsus ini.
Sebagian besar elit birokrat Papua sebagai pihak yang diuntungkan dengan adanya
Otsus ini. Lebih luas lagi termasuk mereka yang terlibat dalam kebijakan ini
seperti DPRP, pemerintah kabupaten hingga aparat tingkat bawah. Besarnya
alokasi dana Otsus untuk birokrasi pada tahun-tahun awal pelaksanaan Otsus
adalah salah satu alasan kenapa mereka menunjuk elit birokrat lokal. Ditambah
lagi dengan banyaknya alokasi dana Otsus yang dinilai kurang jelas dan untuk
proyek-proyek yang tidak pernah dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat.
Selain elit birokrat lokal, pemerintah
pusat juga diuntungkan dengan Otsus ini. Menurut mereka, setelah memberikan
Otsus, pemerintah pusat seolah bisa lepas tangan dan menganggap permasalahan
Papua telah selesai. Pemberian Otsus memperkuat posisi politik Jakarta terhadap
Papua. Pemerintah pusat sekarang punya alasan logis untuk menindak setiap
gerakan yang dianggap berpotensi menumbuhkan disintegrasi di Papua sebab Otsus
telah diberikan. Beberapa tokoh juga menunjuk pihak swasta juga meraup untung
dari Otsus ini. Selain dari proyek-proyek yang diberikan oleh pemerintah mereka
juga mendapatkan peluang dari kewenangan kultural yang didapatkan kembali oleh
kepala suku (Ondoafi) terhadap tanah ulayat. Realitas ini terasa
kontraproduktif tetapi kenyatan itulah yang terjadi. Beberapa pihak swasta
dengan mudah mendapatkan tanah ulayat untuk kepentingan usaha setelah melakukan
pendekatan dengan kepala suku yang justru tidak mendapatkan proteksi dari
pemerintah. Sedangkan rakyat papua merana.
Intinya adalah, Dana otsus yang demikian
besar setelah lebih dari sepuluh tahun tak berdampak terhadap peningkatan
kesejahteraan yang signifikan. Indeks Pembangunan Manusia dan seluruh indeks
capaian MDG Papua tetap berada di peringkat terbawah.. Menariknya, dana
otsus tetap disalurkan. Bahkan meningkat pada tahun 2012. Di tingkat
pemerintah pusat, tak ada keseriusan menyelisik dana otsus. Temuan BPK ada
penyelewengan dana otsus, tak pernah diusut tuntas. Bagi elite Papua, dana
otsus dianggap uang mahar dan uang darah: tak perlu dipertanggungjawabkan. Baik
pemerintah pusat maupun elite Papua sepakat, dana otsus tak perlu diusik karena
itulah sumbangan NKRI agar Papua tak merdeka.
0 komentar:
Post a Comment