Thursday, March 31, 2016

Tinjauan Kritis Kewenangan, Kelembagaan dan Keuangan Otsus Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Papua

Oleh : Suwandi 

Tujuan dari penyelenggaraan otonomi khusus pada dasarnya adalah untuk kesejahteraan masyarakat papua disamping tujuan-tujuan lain yang mengikutinya. Untuk mencapai hal tersebut, manajemen kewenangan, kelembagaan dan keuangan diatur sedemikian rupa untuk tercapainya percepatan pembangunan di tanah Papua. Berikut adalah tinjauan atas aspek-aspek tersebut :

Masalah Kewenangan dan Kelembagaan Masih Suram

Cerita untuk otsus Papua masih buram. Tak pernah ada kejelasan tentang desain besar otsus Papua. Kebijakan yang muncul setelah otsus justru membuat jalan mencapai otsus kian jauh. Melalui UU otsus Papua, pemerintah mendelegasikan kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah disertai kucuran dana yang juga sangat besar. Dana puluhan triliun rupiah ini di luar dana lain seperti APBD dan dekonsentrasi. Pemerintah juga baru saja mencanangkan kebijakan khusus untuk Papua melalui dua peraturan presiden (perpres) yang ditandatangani 20 September 2011. Pertama, Perpres Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Kedua, Perpres Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Perpres itu dilengkapi dokumen rinci berjudul Rencana Aksi yang Bersifat Cepat Terwujud Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun 2011-2012.

Langkah pemerintah membentuk UP4B menurut Julian Pasya[1], sebagai upaya pendekatan kesejahteraan bagi penyelesaian persoalan Papua. Jika benar demikian, mengapa Kepala UP4B seorang jenderal? Selain itu, setiap kali ada persoalan di Papua, mengapa Menko Polhukam, Kapolri, dan BIN yang dikirim ke Papua? Mengapa bukan Menko Kesra, Mendikbud, atau Menkes? Pertanyaan ini seolah menegaskan bahwa ada ketidakberesan dalam upaya pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat Papua.

Bagaimana mungkin membayangkan kesejahteraan yang dijanjikan untuk Papua diucapkan dari mulut seorang tentara? Ini indikasi bahwa belum ada upaya serius menciptakan kesejahteraan di Papua. Problema itu muncul salah satunya karena persoalan identitas di Papua belum tuntas. Dana otsus sejak 2002 tak hanya gagal menghentikan tuntutan merdeka, tetapi justru menyebar di tingkat publik. Jika dulu merdeka hanya tuntutan elite, sekarang menjadi menu obrolan di tingkat rakyat.

Seperti yang dikemukakan oleh Bayu Darsias[2], wewenang yang mengatur tentang Papua justru menimbulkan masalah baru terkait perebutan wewenang atau saling lempar tanggung jawab. Pembentukan PP sebagai tindak lanjut UU otsus sangat lambat. Selain itu, perdasus dan perdasi penting juga gagal dibuat. Jakarta menunjuk Papua tak becus memanfaatkan limpahan kewenangan, Papua menunjuk Jakarta karena tak serius menerbitkan aturan pelaksanaan.

Thus, di Jakarta, tak bisa ditemukan pemerintah pusat. Ketika muncul masalah Papua, tak jelas pembagian kewenangan antara UP4B, Kemendagri, Desk Papua di Menko Polhukam, staf khusus Velix Wanggai, atau utusan khusus Farid Husain. Seluruh lembaga ini tak saling sapa dan duduk bersama mendiskusikan persoalan Papua. Justru aparat keamanan yang dikirim. Satu lagi bahwa memang ada masalah serius dalam hal pembagian kewenangan dan kelembagaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan di tanah Papua.

Persoalan tidak berhenti disitu, Persoalan wewenang juga muncul antara provinsi dan kabupaten/kota: tergantung mana paling menguntungkan. Provinsi berpegang pada UU Otsus, kabupaten/kota merujuk ke UU 32/2004. Sebabnya, materi UU otsus kurang lengkap dan tak ada peraturan pelaksanaannya. Pembentukan lembaga yang berkaitan dengan adat di Papua juga justru menimbulkan masalah baru dan menjadi arena politik elite. Penundaan pilkada gubernur Papua disebabkan oleh penafsiran UU Otsus yang dinilai mengambil wewenang KPUD. Kata ”orang asli Papua” akan selalu menimbulkan persoalan. Tindakan afirmatif ras Melanesia justru bertentangan dengan semangat kewarganegaraan yang seharusnya menjadi dasar pembentukan negara modern.

Intinya adalah persoalan terkait kewenangan dan kelembagaan di dalam praktek otsus harus segera dicarikan titik temu, bagaimana desain terbaik agar tercapai sinergitas antara pemerintah daerah, pemerintah pusat serta lembaga ad hoc yang ada bisa terjalin dengan baik. Agar kesejahteraan yang dicita-citakan masyarakat Papua dapat terwujud.

Dana Otsus Papua dan Implikasinya Terhadap Kesejahteraan  

Otonomi khusus yang berlaku di Papua sejak 2001 tidak berjalan sesuai harapan masyarakat asli disana. Masih banyak penyimpangan disana-sini. Akibatnya tidak ada perkembangan di sana, masyarakat Papua sering merasa tak pernah menikmati hasil tanah kelahirannya.

Tahun 2012, Pemerintah dan DPR sepakat mengalokasikan dana otonomi khusus atau otsus untuk Provinsi Papua sebesar Rp 3,83 triliun dan Papua Barat sebesar Rp 1,64 triliun pada tahun 2012. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2012 yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR. Dana Otsus Papua pada 2012 itu naik sekitar 23 persen dibanding tahun 2011. Pada tahun ini, pemerintah menganggarkan Rp 3,10 triliun untuk Papua dan Rp 1,33 triliun untuk Papua Barat. Selain dana otsus, pemerintah juga akan mengalokasikan dana tambahan infrastruktur untuk Papua sejumlah Rp 571,4 miliar dan Papua Barat sebanyak Rp 428,6 miliar.[3]

Kini, pertanyaan mengenai penyaluran dana Otsus Papua pun semakin terdengar dimana-mana. Dana otsus Papua sejak 2002 hingga 2011 sudah dicairkan pemerintah pusat mencapai kurang lebih Rp33,1 triliun kepada Provinsi Papua dan Papua Barat. hingga tahun 2010 BPK baru melakukan audit sebesar 66,27% dari keseluruhan dana tersebut (atau baru sebesar Rp19,1 triliun). Dan dari proses audit yang dilakukan telah menemukan ada indikasi penyelewengan Rp319 miliar. Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan siap untuk mengusut dugaan penyelewangan dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua tersebut. Tapi sampai saat ini tidak ada realisasi aka hal itu, pemerintah terlalu takut dengan berbagai ekses yang mungkin terjadi. Tidak ada ketegasan sehingga keadaan ini seolah dibiarkan begitu saja tanpa ada langkah memperbaiki.

Dana otsus yang sebesar itu nyatanya belum mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat Papua. Hingga saat ini, saya berani jamin, Otsus tidak banyak membawa perubahan derajat kehidupan untuk masyarakat Papua. Masyarakat mendengar tentang Otsus, dana Otsus dan janji-janji perbaikan kesejahteraan tetapi mereka tidak pernah merasakan manfaatnya. Poin-poin penting dalam UU Otsus seperti pemenuhan hak-hak mendasar orang Papua tidak dibarengi dengan penafsiran yang jelas dan detail sehingga mandeg dalam impelementasi. Penggelontoran dana langsung, menurut beberapa tokoh, justru kontraproduktif terhadap masyarakat. Dana tersebut (dalam bentuk tunai) habis untuk konsumsi dan bukan untuk mengembangkan perekonomian mereka. Karena mengharapkan dana tunai tersebut masyarakat mematikan potensi inovasi dan kewirausahaan mereka. Sementara dana yang benar-benar terarah untuk pengembangan perekonomian kerakyatan belum tampak hingga saat ini.

Pada beberapa hal, memang ada pembangunan di Papua. Tetapi proyek-proyek pembangunan tersebut hanya memperbesar cash outflow bukan  cash inflow, karena miskin output yang benar-benar berasal dari Papua. Inefesiensi itu selama ini memang tidak terlihat karena lagi-lagi bisa tertutup dengan dana Otsus yang besar.[4] Terlepas dari itu, tentu saja tetap ada pihak yang diuntungkan dengan adanya Otsus ini. Sebagian besar elit birokrat Papua sebagai pihak yang diuntungkan dengan adanya Otsus ini. Lebih luas lagi termasuk mereka yang terlibat dalam kebijakan ini seperti DPRP, pemerintah kabupaten hingga aparat tingkat bawah. Besarnya alokasi dana Otsus untuk birokrasi pada tahun-tahun awal pelaksanaan Otsus adalah salah satu alasan kenapa mereka menunjuk elit birokrat lokal. Ditambah lagi dengan banyaknya alokasi dana Otsus yang dinilai kurang jelas dan untuk proyek-proyek yang tidak pernah dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat.

Selain elit birokrat lokal, pemerintah pusat juga diuntungkan dengan Otsus ini. Menurut mereka, setelah memberikan Otsus, pemerintah pusat seolah bisa lepas tangan dan menganggap permasalahan Papua telah selesai. Pemberian Otsus memperkuat posisi politik Jakarta terhadap Papua. Pemerintah pusat sekarang punya alasan logis untuk menindak setiap gerakan yang dianggap berpotensi menumbuhkan disintegrasi di Papua sebab Otsus telah diberikan. Beberapa tokoh juga menunjuk pihak swasta juga meraup untung dari Otsus ini. Selain dari proyek-proyek yang diberikan oleh pemerintah mereka juga mendapatkan peluang dari kewenangan kultural yang didapatkan kembali oleh kepala suku (Ondoafi) terhadap tanah ulayat. Realitas ini terasa kontraproduktif tetapi kenyatan itulah yang terjadi. Beberapa pihak swasta dengan mudah mendapatkan tanah ulayat untuk kepentingan usaha setelah melakukan pendekatan dengan kepala suku yang justru tidak mendapatkan proteksi dari pemerintah. Sedangkan rakyat papua merana.

Intinya adalah, Dana otsus yang demikian besar setelah lebih dari sepuluh tahun tak berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan yang signifikan. Indeks Pembangunan Manusia dan seluruh indeks capaian MDG Papua tetap berada di peringkat terbawah.. Menariknya, dana otsus tetap disalurkan. Bahkan meningkat pada tahun 2012.  Di tingkat pemerintah pusat, tak ada keseriusan menyelisik dana otsus. Temuan BPK ada penyelewengan dana otsus, tak pernah diusut tuntas. Bagi elite Papua, dana otsus dianggap uang mahar dan uang darah: tak perlu dipertanggungjawabkan. Baik pemerintah pusat maupun elite Papua sepakat, dana otsus tak perlu diusik karena itulah sumbangan NKRI agar Papua tak merdeka.



[1] Kompas, edisi 28  Juni  2012
[2] Ketua Tim Kajian Otsus Aceh Papua Fisipol UGM-TIFA 2012 (Kompas, 3 Juli 2012)
[3] Kompas.com, 28 Oktober 2011 / dana otsus papua 2012 naik
[4] Antaranews.com  18 juni 2012/otsus papua perlu pendekatan kesejahteraan  

0 komentar:

Post a Comment