Wednesday, March 9, 2016

Para Pendaki Amatir


Beberapa waktu yang lalu, teman saya anton share foto sandal refleksi yang dia pakai waktu naik gunung ungaran, konyol, aneh bin ajaib bukan, hahaha...dalam sejarah mungkin dia orang pertama yang mendaki gunung memakai sandal refleksi. (tolong bagi para pendaki, khususnya para pemula untuk tidak mencontoh hal tersebut. Percayalah..itu sangat menyakitkan. hal tersebut hanya dilakukan oleh orang2 yang sudah kenyang dengan penderitaan dunia yang fana ini dan para pecandu acara fear factor tingkat lanjut). Melihat postingan itu, Ingatan saya langsung putar balik jauh kebelakang saat kami teman2 kontrakan lagi seneng2nya naik gunung. Hampir semua gunung di jawa tengah sudah kami daki (bukannya sombong lho ya..hehe). Tapi biarpun sudah banyak gunung yang kami panjat, rasa-rasanya kami sama sekali belum layak disebut sebagai pendaki profesional. Alasanya sederhana, hampir semua pendakian yang kami lakukan tidak pernah kami rencanakan matang-matang, semua adalah buah dari keisengan. Kami lebih suka disebut sebagai pecinta alam daripada sebagai pendaki gunung. Karena memang minat kami sebetulnya bukan pada obsesi untuk menaklukan sebuah gunung tapi sekedar jalan-jalan dan menikmati alam selama pendakian. Jadi sebut saja kami para pendaki amatiran.

Pada dasarnya teman-teman kontrakan terdiri dari makhluk2 dengan aktivitas bejibun di kampusnya masing-masing. Mereka adalah para aktivis yang waktunya habis buat kegiatan organisasi, dan sebagian dari mereka adalah ujung tombak di organisasinya masing-masing. Aktivitasnya ya nggak jauh dari rapat, mimpin rapat dan nontonin orang rapat, hahaha... Beraktivitas dengan ritme yang padat kayak gitu pastinya bikin stress dong. Nahhh... Aktivitas naik gunung inilah yang biasanya kami pilih buat ngilangin stress itu. Karena tujuannya Cuma buat ngilangin stress, kadang waktu naik gunung juga luar biasa mendadak, untuk gunung2 yang jaraknya nggak terlalu jauh kayak gunung ungaran bahkan kadang cuma butuh beberapa jam buat sepakat trus akhirnya berangkat rame2.haha... perlengkapan yang dibawa juga seadanya. Hampir semua dari kami nggak ada yang punya alat-alat yang biasa dipake para pendaki profesional saat pendakian. Jangankan Tenda, sleeping bag, nesting, ransel carrier atau sepatu gunung, perlengkapan standar seperti senter saja yang kadar pentingnya itu luar biasa untuk penerangan saat berjalan malam hari di hutan, ala kadarnya. bahkan ada yang Cuma pakai senter HP (itu saya sendiri..haha). Prinsipnya yang penting bisa jadi penerang, minimal bisa lihat jalan dan bedain mana jalan mana jurang. Kami memang penganut aliran simple dan fungsional untuk pemakaian barang-barang (sebenarnya ini bahasa paling diplomatis dari kata "KURANG MODAL") :D

Bukan cuma soal senter, perlengkapan lain juga pastinya sama simple dan fungsionalnya (baca: kurang modal). Setelan kami sama sekali nggak mirip para pendaki gunung. Kalo kata anton.. Setelan kami lebih mirip mahasiswa yang mau nyari signal wifi gratisan malem2 di kampus buat donlot anime kesayangan (fyi, itu salah satu side activity kami juga, hehehe). Setelanya, celana bahan, kaos oblong bekas kepanitiaan sama jaket organisasi yang sedikit agak kegedean, ditambah tas ransel buat laptop sama sandal jepit sejuta umat (gak boleh sebut merk, nanti pada beli...sebut saja "burung walet"). Kira2 seperti itu setelan kami. Namanya juga para pendaki amatir. Selain itu, karena dalam pendakian itu kami jarang sekali bawa tenda atau sleepig bag, jadi kami jarang sekali camp diatas gunung. Biasanya kami berangkat dari base camp malam menjelang dinihari, kami hitung waktu kira2 kami bisa sampai puncak tepat saat sunrise. Di puncak sekitar 1 sampai 2 jam lalu turun lagi ke base camp.

Seperti yang saya tulis di awal, kami lebih suka disebut pecinta alam atau mungkin boleh juga dinaikan levelnya jadi penyayang alam. Kami suka alam dengan segala keindahannya. Mendaki gunung bagi kami bukan soal obsesi tapi refleksi. Saya sendiri sangat menikmati suasana gunung terutama di pagi hari. Bau daun dan batu yang basah kena embun itu seperti terapi yang bisa menjernihkan pikiran. Alasan lain kenapa kami lebih suka disebut sebagai penyayang alam adalah karena kami ingin mencintai dan menyayangi alam dengan perbuatan, kami tidak suka dengan sampah yang berserakan diatas gunung. oleh karenanya kami benci para oknum pendaki yang suka meninggalkan sampah diatas gunung. kami tidak ingin menjadi salah satu dari mereka. Sering kami temui para pendaki (yang tentu saja berpenampilan lebih profesional dari kami), bahkan dengan atribut pecinta alam, tanpa rasa bersalah menumpuk sampah di samping tenda-tenda mereka dan meninggalkannya begitu saja saat turun gunung. Bagi kami mereka hanya sebatas pendaki gunung, bagi mereka mendaki hanya sebatas urusan eksistensi diri, gunung dan segala isinya tidak benar-benar mereka cintai. Selain sampah, personally saya adalah orang yang sangat tidak nyaman dengan asap rokok. Seringkali saat sudah diatas puncak dipagi hari, dan puncak biasanya penuh dengan para pendaki (biasanya saat musim pendakian). Saya seringkali tidak bisa menikmati udara segar karena yang ada disekitar saya cuma kepulan asap rokok dari mulut para pendaki, seringkali saya harus turun sedikit menjauh dari udara yang menjengkelkan itu..I HATE THAT!!! Bagi saya udara yang segar diatas gunung adalah juga bagian dari terapi. Pemandangan dan udara segar adalah 2 hal yang saya cari.

Akhir-akhir ini memang sudah jarang sekali saya naik gunung bareng teman2, faktor kesibukan di tempat kerja barangkali yang jadi penyebab utamanya. Susah banget rasanya sekarang nyari waktu luang buat sekedar nyium bau basah dedaunan di dalam hutan atau liat mahakarya Allah yang maha agung berupa lanscape perbukitan dari puncak gunung. tapi, biarpun sudah jarang kami mendaki, buat kami para pendaki amatir, gunung dan segala cerita pendakianya adalah cinta yang akan selalu kami jaga.

0 komentar:

Post a Comment