Beberapa waktu yang
lalu, teman saya anton share foto sandal refleksi yang dia pakai waktu naik
gunung ungaran, konyol, aneh bin ajaib bukan, hahaha...dalam sejarah mungkin
dia orang pertama yang mendaki gunung memakai sandal refleksi. (tolong bagi
para pendaki, khususnya para pemula untuk tidak mencontoh hal tersebut.
Percayalah..itu sangat menyakitkan. hal tersebut hanya dilakukan oleh orang2
yang sudah kenyang dengan penderitaan dunia yang fana ini dan para pecandu
acara fear factor tingkat lanjut). Melihat postingan itu, Ingatan saya langsung
putar balik jauh kebelakang saat kami teman2 kontrakan lagi seneng2nya naik
gunung. Hampir semua gunung di jawa tengah sudah kami daki (bukannya sombong
lho ya..hehe). Tapi biarpun sudah banyak gunung yang kami panjat, rasa-rasanya
kami sama sekali belum layak disebut sebagai pendaki profesional. Alasanya
sederhana, hampir semua pendakian yang kami lakukan tidak pernah kami
rencanakan matang-matang, semua adalah buah dari keisengan. Kami lebih suka
disebut sebagai pecinta alam daripada sebagai pendaki gunung. Karena memang
minat kami sebetulnya bukan pada obsesi untuk menaklukan sebuah gunung tapi
sekedar jalan-jalan dan menikmati alam selama pendakian. Jadi sebut saja kami
para pendaki amatiran.
Pada dasarnya
teman-teman kontrakan terdiri dari makhluk2 dengan aktivitas bejibun di
kampusnya masing-masing. Mereka adalah para aktivis yang waktunya habis buat
kegiatan organisasi, dan sebagian dari mereka adalah ujung tombak di
organisasinya masing-masing. Aktivitasnya ya nggak jauh dari rapat, mimpin
rapat dan nontonin orang rapat, hahaha... Beraktivitas dengan ritme yang padat
kayak gitu pastinya bikin stress dong. Nahhh... Aktivitas naik gunung inilah
yang biasanya kami pilih buat ngilangin stress itu. Karena tujuannya Cuma buat
ngilangin stress, kadang waktu naik gunung juga luar biasa mendadak, untuk
gunung2 yang jaraknya nggak terlalu jauh kayak gunung ungaran bahkan kadang cuma butuh beberapa jam buat sepakat trus akhirnya berangkat rame2.haha...
perlengkapan yang dibawa juga seadanya. Hampir semua dari kami nggak ada yang
punya alat-alat yang biasa dipake para pendaki profesional saat pendakian.
Jangankan Tenda, sleeping bag, nesting, ransel carrier atau sepatu gunung,
perlengkapan standar seperti senter saja yang kadar pentingnya itu luar biasa
untuk penerangan saat berjalan malam hari di hutan, ala kadarnya. bahkan ada
yang Cuma pakai senter HP (itu saya sendiri..haha). Prinsipnya yang penting
bisa jadi penerang, minimal bisa lihat jalan dan bedain mana jalan mana jurang.
Kami memang penganut aliran simple dan fungsional untuk pemakaian barang-barang
(sebenarnya ini bahasa paling diplomatis dari kata "KURANG MODAL") :D
Bukan cuma soal
senter, perlengkapan lain juga pastinya sama simple dan fungsionalnya (baca:
kurang modal). Setelan kami sama sekali nggak mirip para pendaki gunung. Kalo
kata anton.. Setelan kami lebih mirip mahasiswa yang mau nyari signal wifi
gratisan malem2 di kampus buat donlot anime kesayangan (fyi, itu salah satu
side activity kami juga, hehehe). Setelanya, celana bahan, kaos oblong bekas
kepanitiaan sama jaket organisasi yang sedikit agak kegedean, ditambah tas
ransel buat laptop sama sandal jepit sejuta umat (gak boleh sebut merk, nanti
pada beli...sebut saja "burung walet"). Kira2 seperti itu setelan
kami. Namanya juga para pendaki amatir. Selain itu, karena dalam pendakian itu
kami jarang sekali bawa tenda atau sleepig bag, jadi kami jarang sekali camp
diatas gunung. Biasanya kami berangkat dari base camp malam menjelang dinihari,
kami hitung waktu kira2 kami bisa sampai puncak tepat saat sunrise. Di puncak
sekitar 1 sampai 2 jam lalu turun lagi ke base camp.
Seperti yang saya
tulis di awal, kami lebih suka disebut pecinta alam atau mungkin boleh juga
dinaikan levelnya jadi penyayang alam. Kami suka alam dengan segala
keindahannya. Mendaki gunung bagi kami bukan soal obsesi tapi refleksi. Saya
sendiri sangat menikmati suasana gunung terutama di pagi hari. Bau daun dan
batu yang basah kena embun itu seperti terapi yang bisa menjernihkan pikiran.
Alasan lain kenapa kami lebih suka disebut sebagai penyayang alam adalah karena
kami ingin mencintai dan menyayangi alam dengan perbuatan, kami tidak suka dengan sampah yang berserakan diatas gunung. oleh karenanya kami benci para oknum pendaki yang suka meninggalkan sampah diatas gunung. kami tidak ingin menjadi salah satu dari mereka. Sering kami temui para pendaki (yang tentu saja berpenampilan lebih profesional
dari kami), bahkan dengan atribut pecinta alam, tanpa rasa bersalah menumpuk
sampah di samping tenda-tenda mereka dan meninggalkannya begitu saja saat turun
gunung. Bagi kami mereka hanya sebatas pendaki gunung, bagi mereka mendaki
hanya sebatas urusan eksistensi diri, gunung dan segala isinya tidak
benar-benar mereka cintai. Selain sampah, personally saya adalah orang yang
sangat tidak nyaman dengan asap rokok. Seringkali saat sudah diatas puncak
dipagi hari, dan puncak biasanya penuh dengan para pendaki (biasanya saat musim
pendakian). Saya seringkali tidak bisa menikmati udara segar karena yang ada
disekitar saya cuma kepulan asap rokok dari mulut para pendaki, seringkali saya harus turun
sedikit menjauh dari udara yang menjengkelkan itu..I HATE THAT!!! Bagi
saya udara yang segar diatas gunung adalah juga bagian dari terapi. Pemandangan
dan udara segar adalah 2 hal yang saya cari.
Akhir-akhir ini
memang sudah jarang sekali saya naik gunung bareng teman2, faktor kesibukan di
tempat kerja barangkali yang jadi penyebab utamanya. Susah banget rasanya
sekarang nyari waktu luang buat sekedar nyium bau basah dedaunan di dalam hutan
atau liat mahakarya Allah yang maha agung berupa lanscape perbukitan dari
puncak gunung. tapi, biarpun sudah jarang kami mendaki, buat kami para pendaki amatir, gunung dan segala cerita
pendakianya adalah cinta yang akan selalu kami jaga.
0 komentar:
Post a Comment