Beliau adalah
Hindun binti Abi Umayyah bin Mughirah al-Makhzumiyah al-Qursyiyah. Bapaknya
adalah putra dari salah seorang Quraisy yang diperhitungkan (disegani) dan
terkenal dengan kedermawanannya.
Ayahnya dijuluki
sebagai "Zaad ar-Rakbi " yakni seorang pengembara yang
berbekal. Dijuluki demikian karena apabila dia melakukan safar (perjalanan)
tidak pernah lupa mengajak teman dan juga membawa bekal bahkan ia mencukupi
bekal milik temannya. Adapun ibu beliau bernama 'Atikah binti Amir bin
Rabi'ah al-Kinaniyah dari Bani Farras yang terhormat.
Disamping beliau
memiliki nasab yang terhormat ini beliau juga seorang wanita yang berparas
cantik, berkedudukan dan seorang wanita yang cerdas.Pada mulanya dinikahi oleh
Abu Salamah Abdullah bin Abdil Asad al-Makhzumi, seorang shahabat yang agung
dengan mengikuti dua kali hijrah. Baginya Ummu Salamah adalah sebaik-baik
istri baik dari segi kesetiaan, kata'atan dan dalam menunaikan hak-hak
suaminya. Dia telah memberikan pelayanan kepada suaminya di dalam rumah dengan
pelayanan yang menggembirakan. Beliau senantiasa mendampingi suaminya dan
bersama-sama memikul beban ujian dan kerasnya siksaan orang-orang Quraisy.
Kemudian beliau hijrah bersama suaminya ke Habasyah untuk menyelamatkan diennya
dengan meninggalkan harta, keluarga, kampung halaman dan membuang rasa
ketundukan kepada orang-orang zhalim dan para thagut. Di bumi hijrah inilah
Ummu Salamah melahirkan putranya yang bernama Salamah.
Bersamaan dengan
disobeknya naskah pemboikotan (terhadap kaum muslimin dan kaumnya Abu
Thalib) dan setelah masuk Islamnya Hamzah bin Abdul Muthallib dan Umar bin
Khaththab radhiallaahu 'anhuma , kembalilah sepasang
suami-isteri ini ke Mekkah bersama shahabat-shahabat yang lainnya.
Kemudian manakala
Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam mengizinkan bagi para
shahabatnya untuk hijrah ke Madinah setelah peristiwa Bai'atul Aqabah al-Kubra,
Abu Salamah bertekad untuk mengajak anggota keluarganya berhijrah. Kisah
hijrahnya mereka ke Madinah sungguh mengesankan, maka marilah kita mendengar
penuturan Ummu Salamah yang menceritakan dengan lisannya tentang perjalanan
mereka tatkala menempuh jalan hijrah. Berkata Ummu Salamah:
"Tatkala Abu
Salamah tetap bersikeras untuk berhijrah ke Madinah, dia menuntun untanya
kemudian menaikkan aku ke atas punggung unta dan membawa anakku Salamah.
Selanjutnya kami keluar dengan menuggang unta, tatkala orang-orang dari Bani
Mughirah melihat kami segera mereka mencegatnya dan berkata: 'Jika dirimu saja
yang berangkat maka kami tidak kuasa untuk mencegahnya namun bagaimana dengan
saudara kami (Ummu Salamah yang berasal dari Bani Mughirah) ini?'. Kemudian
mereka merenggut tali kendali unta dari tangannya dan mencegahku untuk
pergi bersamanya. Ketika Bani Abdul Asad dari kaum Abi Salamah melihat hal itu,
mereka marah dan saling memperebutkan Salamah hingga berhasil mengambilnya dari
paman-pamannya, mereka mengatakan:'Tidak! demi Allah kami tidak akan membiarkan
anak laki-laki kami bersamanya jika kalian memisahkan istri dari keluarga
laki-laki kami'. Mereka memperebutkan anakku, Salamah lalu melepaskan
tangannya, kemudian anakku dibawa pergi bergabung dengan kaum bapaknya,
sedangkan aku tertahan oleh Bani Mughirah.
Maka berangkatlah
suamiku seorang diri hingga sampai ke Madinah untuk menyelamatkan dien dan
nyawanya. Selama beberapa waktu lamanya, aku merasakan hatiku hancur dalam
keadaan sendiri karena telah dipisahkan dari suami dan anakku. Sejak hari itu,
setiap hari aku pergi keluar ke pinggir sebuah sungai, kemudian aku duduk
disuatu tempat yang menjadi saksi akan kesedihanku. Terkenang olehku saat-saat
dimana aku berpisah dengan suami dan anakku sehingga menyebabkan aku menangis
sampai menjelang malam. Kebiasaan tersebut aku lakukan kurang lebih selama satu
tahun hingga ada seorang laki-laki dari kaum pamanku yang melewatiku. Tatkala
melihat kondisiku, ia menjadi iba kemudian berkata kepada orang-orang dari
kaumku: 'Apakah kalian tidak membiarkan wanita yang miskin ini untuk keluar?
Sungguh kalian telah memisahkannya dengan suami dan anaknya'. Hal itu dikatakan
secara berulangkali sehingga menjadi lunaklah hati mereka, kemudian mereka
berkata kepadaku: 'Susullah suamimu jika kamu ingin'. Kala itu anakku juga
dikembalikan oleh Bani Abdul Asad kepadaku. Selanjutnya aku mengambil untaku
dan meletakkan anakku dipangkuannya. Aku keluar untuk menyusul suamiku di
Madinah dan tak ada seorangpun yang bersamaku dari makhluk Allah.
Manakala aku sampai
di at-Tan'im aku bertemu dengan Utsman bin Thalhah. Dia bertanya
kepadaku:'Hendak kemana anda wahai putri Zaad ar-Rakbi?'. 'Aku
hendak menyusul suamiku di Madinah", jawabku. Utsman berkata: 'apakah ada
seseorang yang menemanimu?. Aku menjawab: 'Tidak! demi Allah! melainkan hanya
Allah kemudian anakku ini'. Dia menyahut: 'Demi Allah engkau tidak boleh
ditinggalkan sendirian'. Selanjutnya dia memegang tali kekang untaku dan
menuntunnya untuk menyertaiku. Demi Allah tiada aku kenal seorang laki-laki
Arab yang lebih baik dan lebih mulia dari Ustman bin Thalhah. Apabila kami
singgah di suatu tempat, dia mempersilahkan aku berhenti dan kemudian dia
menjauh dariku menuju sebuah pohon dan dia berbaring dibawahnya. Apabila
kami hendak melanjutkan perjalanan, dia mendekati untaku untuk mempersiapkan
dan memasang pelananya kemudian menjauh dariku seraya berkata: 'Naiklah!'.
Apabila aku sudah naik ke atas unta dia mendatangiku dan menuntun untaku
kembali. Demikian seterusnya yang dia lakukan hingga kami sampai di Madinah.
Tatkala dia melihat desa Bani Umar bin Auf di Quba' yang merupakan tempat
dimana suamiku, Abu Salamah berada di tempat hijrahnya. Dia
berkata:'Sesungguhnya suamimu berada di desa ini, maka masuklah ke desa ini
dengan barokah Allah'. Sementara Ustman bin Thalhah langsung kembali ke
Makka".
Begitulah, Ummu
Salamah adalah wanita pertama yang memasuki Madinah dengan sekedup unta
sebagaimana beliau juga pernah mengikuti rombongan pertama yang hijrah ke
Habasyah. Selama di Madinah beliau sibuk mendidik anaknya - inilah tugas pokok
bagi wanita - dan mempersiapkan sesuatu sebagai bekal suaminya untuk berjihad
dan mengibarkan bendera Islam. Abu Salamah mengikuti perang Badar dan perang
Uhud. Pada Perang Uhud inilah beliau terkena luka yang parah. Beliau terkena
panah pada begian lengan dan tinggal untuk mengobati lukanya hingga merasa
sudah sembuh.
Selang dua bulan
setelah perang Uhud, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam mendapat
laporan bahwa Bani Asad merencanakan hendak menyerang kaum muslimin. Kemudian
beliau memanggil Abu Salamah dan mempercayakan kepadanya untuk membawa bendera
pasukan menuju "Qathn", yakni sebuah gunung yang berpuncak tinggi
disertai pasukan sebanyak 150 orang. Di antara mereka adalah 'Ubaidullah bin
al-Jarrah dan Sa'ad bin Abi Waqqash.
Abu Salamah
melaksanakan perintah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam untuk
menghadapi musuh dengan antusias. Beliau menggerakkan pasukannya pada gelapnya
subuh saat musuh lengah. Maka usailah peperangan dengan kemenangan kaum
muslimin sehingga mereka kembali dalam keadaan selamat dan membawa ghanimah.
Disamping itu, mereka dapat mengembalikan sesuatu yang hilang yakni kewibawaan
kaum muslimin tatkala perang Uhud.
Pada pengiriman
pasukan inilah luka yang diderita oleh Abu Salamah pada hari Uhud kembali
kambuh sehingga mengharuskan beliau terbaring ditempat tidur. Di saat-saat dia
mengobati lukanya, beliau berkata kepada istrinya: "Wahai Ummu Salamah,
aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
"Tiada seorang
muslimpun yang ditimpa musibah kemudian dia mengucapkan kalimat istirja' (inna
lillahi wa inna ilaihi raji'un), dilanjutkan dengan berdo'a:'Ya Allah berilah
aku pahala dalam musibah ini dan gantilah untukku dengan yang lebih baik
darinya' melainkan Allah akan menggantikan yang lebih baik darinya".
Pada suatu pagi
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam datang untuk
menengoknya dan beliau terus menunggunya hingga Abu Salamah berpisah dengan
dunia. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam memejamkan
kedua mata Abu Salamah dengan kedua tangannya yang mulia, beliau mengarahkan
pandangannya ke langit seraya berdo'a:
"Ya Allah
ampunilah Abu Salamah, tinggikanlah derajatnya dalam golongan Al-Muqarrabin dan
gantikanlah dia dengan kesudahan yang baik pada masa yang telah lampau dan
ampunilah kami dan dia Ya Rabbal'Alamin".
Ummu Salamah
menghadapi ujian tersebut dengan hati yang dipenuhi dengan keimanan dan jiwa
yang diisi dengan kesabaran beliau pasrah dengan ketetapan Allah dan
qadar-Nya.Beliau ingat do'a Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam yang
diriwayatkan oleh Abu Salamah yakni:
"Ya Allah
berilah aku pahala dalam musibah ini…"
Sebenarnya ada rasa
tidak enak pada jiwanya manakala dia membaca do'a: "Wakhluflii khairan
minha" (dan gantilah untukku dengan yang lebih baik darinya) karena
hatinya bertanya-tanya: 'Lantas siapakah gerangan yang lebih baik daripada Abu
Salamah?'. Akan tetapi beliau tetap menyempurnakan do'anya agar bernilai ibadah
kepada Allah.
Ketika telah habis
masa iddahnya, ada beberapa shahabat-shahabat utama yang bermaksud untuk
melamar beliau. Inilah kebiasaan kaum muslimin dalam menghormati saudaranya,
yakni mereka manjaga istrinya apabila mereka terbunuh di medan jihad. Akan
tetapi Ummu Salamah menolaknya.
Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam turut memikirkan nasib wanita yang mulia ini;
seorang wanita mukminah, jujur, setia dan sabar. Beliau melihat tidak bijaksana
rasanya apabila dia dibiarkan menyendiri tanpa seorang pendamping. Pada suatu
hari, pada saat Ummu Salamah sedang menyamak kulit, Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam datang dan meminta izin kepada Ummu Salamah untuk
menemuinya. Ummu Salamah mengizinkan beliau. Beliau ambilkan sebuah bantal yang
terbuat dari kulit dan diisi dengan ijuk sebagai tempat duduk bagi Nabi. Maka
Nabi pun duduk dan melamar Ummu Salamah. Tatkala Rasulullah selesai berbicara,
Ummu Salamah hampir-hampir tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Tiba-tiba
beliau ingat hadits yang diriwayatkan oleh Abu Salamah, yakni; "Wakhlufli
khairan minha" (dan gantilah untukku dengan yang lebih baik darinya),
maka hatinya berbisik:'Dia lebih baik daripada Abu salamah'. Hanya saja
ketulusan dan keimanannya menjadikan beliau ragu, beliau hendak mengungkapkan
kekurangan yang ada pada dirinya kepada Rasulullah. Dia berkata:"Marhaban
ya Rasulullah, bagaimana mungkin aku tidak mengharapkan anda ya
Rasulullah…hanya saja saya adalah seorang wanita yang pencemburu, maka aku
takut jika engkau melihat sesuatu yang tidak anda senangi dariku maka Allah
akan mengadzabku, lagi pula saya adalah seorang wanita yang telah lanjut usia
dan saya memiliki tanggungan keluarga. Maka Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wasallam bersabda:"Adapun alasanmu bahwa engkau adalah
wanita yang telah lanjut usia, maka sesungguhnya aku lebih tua darimu dan
tiadalah aib manakala dikatakan dia telah menikah dengan orang yang lebih tua
darinya. Mengenai alasanmu bahwa engkau memiliki tanggungan anak-anak yatim,
maka semua itu menjadi tanggungan Allah dan Rasul-Nya. Adapun alasanmu bahwa
engkau adalah wanita pencemburu, maka aku akan berdo'a kepada Allah agar
menghilangkan sifat itu dari dirimu. Maka beliau pasrah dengan Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam . Dia berkata:"Sungguh Allah telah menggantikan
bagiku seorang suami yang lebih baik dari Abu Salamah, yakni Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam.
Maka jadilah Ummu
Salamah sebagai Ummul mukminin. Beliau hidup dalam rumah tangga nubuwwah yang
telah ditakdirkan untuknya dan merupakan suatu kedudukan yang beliau harapkan.
Beliau menjaga kasih sayang dan kesatuan hati bersama para ummahatul mukminin.
Ummu Salamah adalah
seorang wanita yang cerdas dan matang dalam memahami persoalan dengan pemahaman
yang baik dan dapat mengambil keputusan dengan tepat pula. Hal itu ditunjukkan
pada peristiwa Hudaibiyah manakala Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
sallam memerintahkan para shahabatnya untuk menyembelih qurban selepas
terjadinya perjanjian dengan pihak Quraisy. Namun ketika itu, para shahabat
tidak mengerjakannya karena sifat manusiawi mereka yang merasa kecewa dengan
hasil perjanjian Hudaibiyah yang banyak merugikan kaum muslimin. Berulangkali
Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan mereka akan
tetapi tetap saja tak seorangpun mau mengerjakannya. Maka Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam masuk menemui Ummu Salamah dalam keadaan sedih dan
kecewa. Beliau ceritakan kepada Ummu Salamah perihal kaum muslimin yang tidak
mau mengerjakan perintah beliau. Maka Ummu Salamah berkata:"Wahai
Rasulullah apakah anda menginginkan hal itu?. Jika demikian, maka silahkan anda
keluar dan jangan berkata sepatah katapun dengan mereka sehingga anda
menyembelih unta anda, kemudian panggillah tukang cukur anda untuk mencukur
rambut anda (tahallul).
Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam menerima usulan Ummu Salamah. Maka beliau berdiri
dan keluar tidak berkata sepatah katapun hingga beliau menyembelih untanya.
Kemudian beliau panggil tukang cukur beliau dan dicukurlah rambut beliau.
Manakala para shahabat melihat apa yang dikejakan oleh Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam, maka mereka bangkit dan menyembelih kurban mereka,
kemudian sebagian mereka mencukur sebagian yang lain secara bergantian. Hingga
hampir-hampir sebagian membunuh sebagian yang lain karena kecewa. Setelah
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam menghadap
Ar-Rafiiqul A'la, maka Ummul Mukminin, Ummu Salamah senantiasa memperhatikan
urusan kaum muslimin dan mengamati peristiwa-peristiwa yang terjadi. Beliau
selalu andil dengan kecerdasannya dalam setiap persoalan untuk menjaga lurusnya
umat dan mencegah mereka dari penyimpangan, terlebih lagi terhadap para
penguasa dari para Khalifah maupun para pejabat. Beliau singkirkan segala
kejahatan dan kezhaliman terhadap kaum muslimin, beliau terangkan kalimat yang
haq dan tidak takut terhadap celaan dari orang yang suka mencela dalam rangka
melaksanakan perintah Allah. Tatkala tiba bulan Dzulqa'dah tahun 59 setelah
hijriyah, ruhnya menghadap Sang Pencipta sedangkan umur beliau sudah mencapai
84 tahun. Beliau wafat setelah memberikan contoh kepada wanita dalam hal
kesetiaan, jihad dan kesabaran.
0 komentar:
Post a Comment