Saya
ingat betul bagaimana perjuangan saya untuk bisa menikmati pendidikan sampai
perguruan tinggi. orang tua harus banting tulang mati-matian untuk membayar
ongkos sekolah yang untuk ukuran keluarga saya sangat mahal. Teman-teman saya
di desa bahkan banyak yang tidak pernah berfikir tentang kuliah karena kuliah
bagi mereka ibarat barang mewah yang tidak perlu susah-susah diperjuangkan
karena memang untuk ukuran mereka tempatnya cuma ada diangan-angan, masalahnya
bukan karena tidak faham arti penting pendidikan tapi lebih banyak karena
ongkosnya yang membumbung diluar kemampuan.
Akhir-akhir ini saya mencoba
mencari sekolah untuk adik saya, tentu saya mencari sekolah dengan kualitas
baik dan murah, atau paling tidak bisa dijangkau oleh kemampuan ekonomi
keluarga yang tak seberapa, hasilnya tak kunjung saya temui sekolah dengan kualitas
baik yang ongkosnya bisa kami jangkau. Barangkali memang “makin mahal makin
bermutu” sudah menjadi kredo dunia pendidikan saat ini, persis kredo rumah
bordil!!. Dan tentu dengan kredo semacam itu ada diskriminasi yang tegas
terhadap kalangan miskin, padahal jelas-jelas dalam konstitusi diamanatkan
bahwa pendidikan adalah hak setiap warga Negara tanpa ada pembedaan status
sosial. Kondisi ini diperparah lagi dengan Realitas dimana banyak juga sarjana
yang ujung-ujungnya tak kebagian pekerjaan. sudah susah payah keluar uang untuk
sekolah yang jumlahnya tidak sedikit ujung-ujungnya jadi pengangguran ini tentu
sebuah kesalahan. Agaknya pendidikan yang mahal ini terjadi karena negara yang
terlalu malas untuk mengambil peran, hasilnya kapitalisme pendidikan merajalela.
Pendidikan pun menjadi komoditi para pengusaha dan penguasa. Akhirnya saya pun
bisa memahami bahwa banyak persoalan negeri ini, soal korupsi, kenakalan remaja
(yang sekarang sudah bertransformasi menjadi kejahatan remaja), kemiskinan,
kriminalitas tak pernah lepas dari kontribusi dunia pendidikan yang kacau balau
ini.
Mari kita coba telaah, kata
kuncinya adalah kompetisi dan globalisasi, kini sekolah adalah tempat dimana
ruang belajar bukan lagi ada pada guru. Belajar identik dengan perolehan
kemampuan dan keterampilan. Seperti computer, bahasa asing dll. Muaranya adalah
pada bagaimana para siswa dapat berkompetisi di era globalisasi. Dunia yang
semakin menciut ini telah meletakkan badan setiap orang untuk bergesekan dan
berlomba. Berebut posisi dan kedudukan kian membuat kebutuhan untuk menjadi
unggul jadi sesuatu yang primer. Keunggulan itulah yang telah membuat sekolah
seperti perusahaan catering. Menyiapkan macam-macam menu yang diorientasikan
pada rasa enak dan kenyang. Sekolah tidak bangga karena murah biaya, tapi akan
bertepuk dada karena fasilitas yang lengkap. Fasilitas itu bentuknya berupa
gedung dan ruangan yang megah, hingga pengajar dari berbagai Negara, janjinya
selalu saja serupa, akan lahir lulusan yang siap bertarung dalam iklim global.
Globalisasi ini memang membuat
setiap orang dihinggapi rasa takut dan cemas, karenanya pengangguran telah
membuat setiap lapis generasi harus siap untuk menjadi orang terbuang. Lembaga
pendidikan pun akhirnya mengalami nasib yang tragis. Lembaga pendidikan
berjalan dengan orientasi meraup laba sebesar-besarnya. Pendidikan kini harus
mengubah strategi, dari upaya untuk pencerdasan menjadi unit bisnis untuk
melahirkan produk sebanyak-banyaknya. Pendidikan saat ini berubah menjadi mesin
industri. Mesin yang bekerja dengan logika efisiensi dan efektivitas. Dengan
mempercepat waktu pembelajaran, pendidikan kemudian lebih mirip dengan proses
pembuatan sabun, mengeluarkan dalam jumlah banyak tanpa perbedaan sama sekali.
Swastanisasi ini lah yang menjadi biang keladi terutama ketika memasuki dunia
pendidikan, ada kepentingan yang menyelinap dari kalangan pemodal utamanya
ketika mendirikan sekolah, seperti sebuah pabrik sekolah akan menghasilkan
makhuk yang namanya bermacam-macam, yang normal memang akan menghasilkan
lulusan yang bisa berbuat apa saja, yang mengejutkan akan mengeluarkan anak
didik yang memiliki kepedulian tinggi atas banyak masalah, tapi yang umum akan
cetuskan pengangguran. Tapi mana peduli sekolah dengan lulusannya yang berkarir
sebagai penganggur. Sekolah memang bukan monster yang haus akan uang, tapi yang
benar sekolah memang terus menerus memerlukan biaya. Dari tahun ke tahun
sekolah menaikkan ongkos dengan alasan yang bermacam-macam.
Begitulah dunia pembelajaran
kemudian menjadi tempat yang mahal, pendidikan menjadi aktivitas yang sulit
untuk diakses setiap orang. Tiap kali disusun usaha untuk melawan
komersialisasi sekolah maka serangan balik muncul. Ada yang menganggap sekolah
mahal itu memang syarat mutlak jikalau ingin maju. Disekeliling lingkungan
pendidikan terbentuk anggapan bahwa mutu terdapat dalam mekanisme penyusunan
materi dan bagaimana metodologi pengajaran disajikan. Makanya sejak dini anak
diberi beban yang menakjubkan, beban itu bukan hanya berbentuk pelajaran melainkan
juga uang iuran yang beraneka ragam. Sekolah harusnya murah, agar terjangkau
setiap warga Negara, karena memang itu hak yang harus di tunaikan Negara
sebagai bagian dari kontrak sosial yang dibuat dalam bentuk konstitusi.
Sekolah
harusnya murah tuan
Agar
kami yang ingin pintar tak harus kepayahan
Lebih
buruk, kami ambruk sebelum sampai tujuan
Sekolah
harusnya murah tuan
Karena
mendidik kami yg miskin adalah kewajiban,
itu
tujuan Negara didirikan,
yang
bapak2 pendiri bangsa ini inginkan…
Negara
berdaulat juga bermartabat, oleh
karenanya kami harus pintar tuan…
0 komentar:
Post a Comment