Saturday, March 14, 2015

Otonomi Desa : Harapan dan Tantangan Kesejahteraan



Perwujudan otonomi daerah yang lebih konkret akhirnya menemui babak baru dengan disahkannya UU no 6 tahun 2014 tentang Desa. Ini menjadi awal sejarah bagi keberlanjutan perkembangan desentralisasi di Indonesia, UU baru ini akhirnya menempatkan desa memiliki otonominya sendiri. Tak bisa dipungkiri desa adalah bagian penting dari pembangunan nasional. Berdasarkan data dari BPS tahun 2012 jumlah desa di indonesia mencapai 79.702 desa, jumlah ini masih jauh lebih banyak daripada jumlah kelurahan yakni sebanyak 7.878. data tersebut memberikan gambaran bahwa lebih dari 85% wilayah NKRI adalah pemerintahan desa dan hanya sekitar 15% merupakan pemerintahan kelurahan yang bersifat perkotaan. Dengan demikian kedudukan desa sangatlah penting sebagai alat untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Karena desa dalam hal ini berperan sebagai agen pemerintah terdepan yang dapat menjangkau kelompok sasaran riil pembangunan yang hendak disejahterakan.

Bergulirnya otonomi desa pasca UU Desa memiliki konsekuensi yang besar, ia bisa berarti harapan jika secara implementatif dijalankan dengan benar dan bertanggungjawab oleh para pelaku kebijakan di desa, dan bisa juga berarti tantangan karena banyak sekali potensi korupsi yang bisa dimanfaatkan oleh oknum aparatur yang tidak bertanggungjawab disana. Secara singkat undang-undang tersebut mengatur tata kelola pemerintahan desa, baik perangkat, maupun pengembangan ekonomi yang mungkin dikembangkan di desa serta penguatan sistem informasi desa. pemerintah desa memiliki kewenangan yang tinggi dalam pengembangan desa. selain itu, dibangunnya mekanisme checks and balances dengan diaktifkannya BPD untuk mendorong akuntabilitas pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat. jika secara implementatif undang-undang ini dijalankan secara benar dan sungguh-sungguh, maka potensi kesejahteraan desa sangat mungkin dicapai.

Berkenaan dengan itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait bergulirnya otonomi desa. Yang pertama adalah soal kesiapan aparatur desa sebagai pelaksana kebijakan dan kuasa anggaran. Sudah menjadi rahasia umun jika saat ini desa masih belum memiliki pola manajerial yang baik. pemerintah desa dalam hal ini kepala desa, carik dan perangkat lainnya sebagian besar tidak memiliki kapasitas yang cukup di dalam pengelolaan administrasi pemerintahan secara profesional, hal ini dikarenakan mekanisme rekrutmen perangkat pemerintahan desa biasanya dilakukan secara politis atas dasar balas budi kepala desa kepada para pengusungnya pada saat pilkades. Sehingga banyak dari mereka yang tidak memiliki basic keilmuan dan pengetahuan tentang administrasi pemerintahan. Oleh sebab itu, kapasitas SDM pemerintahan desa harus segera dibenahi karena UU desa menghendaki adanya pengelolaan administrasi pemerintahan yang profesional dan rigid. jangan sampai akibat dari ketidaksiapan aparatur pemerintah desa dengan peng-administrasian keuangan dan mekanisme laporan pertanggungjawaban anggaran yang sangat ketat ini kemudian banyak Kades yang akhirnya tersandung masalah.

Yang kedua adalah berkaitan dengan mekanisme pengawasan terhadap pengelolaan anggaran untuk pembangunan yang berorientasi kesejahteraan itu sendiri. titik rawannya terletak pada jumlah alokasi anggaran yang mencapai 10% dari APBN untuk desa di seluruh indonesia, artinya setiap desa kurang lebih akan menerima anggaran sebesar 1 Milyar per tahun. Jumlah ini tergolong besar untuk ukuran desa. Jumlah anggaran yang besar dengan ruang kewenangan desa yang juga begitu besar membawa konsekuensi penyelewengan semakin terbuka lebar. Jika tidak ada pengawasan yang baik bisa terjadi mis-alokasi dan migrasi korupsi dari pusat ke desa, Desa pun bisa menjadi sarang korupsi baru. Oleh karena itu, mekanisme cheks and balance harus benar-benar didorong sebagai langkah pengawasan, bukan hanya oleh BPD melainkan juga oleh masyarakat desa secara keseluruhan. Artinya, kesiapan masyarakat untuk terlibat aktif di dalam mengawal pembangunan di desanya juga harus menjadi perhatian tersendiri. Perlu adanya sosialisasi yang massif kepada masyarakat desa perihal peran mereka di dalam pembangunan di daerahnya, karena pemahaman yang baik adalah modal untuk terlibat aktif mengawasi proses pembangunan.

Masyarakat harus mendorong adanya transparansi dan akuntabilitas kebijakan di desa, caranya adalah dengan mengaktifkan kembali berbagai pos komunitas seperti karang taruna, kelompok tani/nelayan, tokoh masyarakat, PKK dan lain-lain di desa dan memberdayakannya untuk terlibat di dalam proses pembangunan. Mulai dari perencanaan, seperti ikut merumuskan kebijakan pada kegiatan musrenbang hingga pengawasan pasca implementasi kebijakan. Jika tantangan yang begitu kompleks ini disikapi dengan sungguh-sungguh niscaya harapan kesejahteraan di desa bukan lagi sekedar angan-angan. terhadap penerapan undang-undang tentang desa ini, pemerintah pusat dan daerah selaku unit pemerintahan yang berada diatas desa harus menjadi pendamping untuk memperkuat kapasitas desa dalam pengelolaan sumberdaya daerahnya. fokus kesejahteraan masyarakat harus menjadi perhatian bersama para pengambil kebijakan baik di tingkat pusat, daerah maupun desa sehingga kebijakan yang dibuat menjadi berkesinambungan. jangan sampai UU yang telah diperjuangkan selama tujuh tahun ini kembali tidak terdefinisikan secara implementatif bagi kesejahteraan masyarakat, tapi hanya proses migrasi korupsi dari pusat/daerah ke desa seperti sebelum-sebelumnya. apalagi ditambah dengan kemampuan manajerial desa yang masih rendah semakin mengafirmasi keraguan akan keberhasilan UU tentang desa tersebut. tantangan harus dihadapi dengan kerjasama yang baik dari berbagai pihak, dengan begitu otonomi desa akan berkorelasi positif dengan kesejahteraan. selamat membnagun desa!


-Suwandi suwe

*Penulis adalah pengamat pembangunan dan otonomi daerah, alumnus Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang, Jurusan Administrasi Publik.

0 komentar:

Post a Comment