Salah satu perubahan mendasar dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah di era otonomi daerah yaitu proses seleksi kepemimpinan eksekutif lokal tidak lagi dipilih dan ditentukan oleh DPRD, tapi langsung oleh rakyat. Output pilkada diharapkan pemimpin eksekutif lokal yang bisa memenuhi preferensi mayoritas masyarakat lokal dan mempercepat terbentuknya pemerintahan daerah yang lebih baik (good governance). Dengan begitu, dari sisi subtansi, pilkada diharapkan bisa melakukan proses seleksi pemimpin yang dinilai rakyatnya terbaik untuk melakukan perubahan-perubahan yang menjanjikan dan memberi manfaat kepada masyarakat luas.
Apakah gambaran lahirnya seorang pemimpin produk
pilkada tersebut dalam prakteknya bisa diwujudkan? dalam kasus kepemimpinan
kepala daerah di beberapa daerah seperti di Bandung, Surabaya, Bantaeng, Bojonegoro,
Batang, Jembarana, sosok kepemimpinan kepala daerah di era
otonomi daerah bisa mendobrak kemandekan pemerintahan dan menghasilkan contoh
keteladanan
Namun,
secara umum hampir di semua daerah proses pilkada belum melahirkan pemimpin
yang bisa melakukan perubahan mendasar untuk mempercepat kemajuan daerah,
bahkan ada kecenderungan dengan pilkada justru menimbulkan sejumlah persoalan
yaitu;
Pertama, pilkada ternyata tidak ada hubungannya antara pemilih (konstituensi) dengan kompetensi.
Seseorang calon kepala daerah walaupun dipilih dengan perolehan suara terbanyak
tidak berarti menjadi kepala daerah yang memiliki kemampuan. Karena, dalam
realitasnya proses rekrutmen pilkada, aspek kualifikasi kemampuan
termarjinalkan oleh faktor popularitas, kemampuan finansial, dan parpol
pengusung. Kedua, proses
pengusungan calon dalam satu paket menimbulkan konflik karena formasinya bisa
dilakukan secara beragam. Misalnya, kepala daerah diusung dari PDIP dan
wakilnya dari kader Golkar. Bisa juga, calon kepala daerah dari parpol dan
calon wakilnya dari birokrat. Jadi, dalam sistem satu paket, variasi pasangan
bisa dari latar belakang yang berbeda. Ketiga, legitimasi calon terpilih rendah.
Aturan main calon kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih dalam UU yang baru tidak mensyaratkan persentase jumlah
dukungan. Sedangkan rata-rata calon terpilih menang dalam
pilkada mendapat persentase suara tidak lebih dari 25%. Dengan fakta ini seorang kepala daerah bisa terpilih
dengan modal dukungan hanya sekitar 25 % dari total pemilih, artinya 75 %
pemilih sesungguhnya tidak memberikan dukungan terhadap kepala daerah terpilih. Keempat, ketimpangan dukungan politik dari
DPRD. Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terpilih bisa berasal
dari parpol yang tidak menguasai suara mayoritas di DPRD. Kelima, batas-batas kewenangan
pejabat politik dan pejabat birokrasi tidak jelas, sehingga kekuasaan menjadi
terpusat di kepala daerah. Akibatnya, urusan penyelenggaraan pemerintahan yang
lazimnya menjadi kewenangan otoritas birokrasi, bisa diintervensi oleh
kepentingan pejabat politik.
Model
kepemimpinan kepala daerah di era otonomi daerah tidak hanya terbentuk dari
sistem pilkada langsung, tetapi juga akibat sistem demokratisasi pemerintahan
dan konsekuensi tuntutan good governance. Proses demokratisasi pemerintahan dan
penerapan good governance menggeser model kepemimpinan pemerintahan yang semula
kental dengan konsep memerintah, memberi perintah dalam arti to give orders. Di
dalam perkembangan sekarang kepemimpinan pemerintahan lebih menekankan pada
kiat mengajak, menggalang, memberdayakan, dan menggairahkan.
Pergeseran
model kepemimpinan tersebut, seharusnya didukung sebuah kesadaran masyarakat
sebagai pemilih untuk menempatkan dan memosisikan proses pemilihan kepala
daerah bukan sekadar persaingan memperebutkan kekuasaan. Tapi secara subtantif
harus memunculkan kepala daerah yang memiliki kemampuan memerintah dan bisa
melakukan perubahan-perubahan yang lebih baik bagi kemajuan daerah dan
masyarakatnya.
Jika
pilkada berhasil digelar tapi gagal dalam memunculkan kepala daerah yang
memilki kapasitas dalam mengelola pemerintahan ke arah perubahan yang lebih
baik, maka kita jangan berharap banyak terhadap kemajuan masyarakat dan
daerahnya. Oleh sebab itu, sudah saatnya ada pembelajaran politik bagi
masyarakat agar bisa secara cerdas mendorong terjadinya proses seleksi calon
kepala daerah yang mengedepankan aspek kemampuan dan memiliki keberpihakan untuk
memajukan masyarakat dan daerahnya serta bersih dari korupsi.
-suwandi suwe
0 komentar:
Post a Comment