Akhir-akhir ini saya sangat tergoda mempelajari konsep-konsep
“anti mainstream” yang mungkin saat ini tidak menjadi kajian yang seksi untuk
diangkat dalam ruang-ruang diskusi. Salah satu yang menarik perhatian saya
adalah mengenai konsep pendampingan masyarakat. Di lingkungan Universitas
seperti yang kita ketahui terdapat kewajiban untuk mengangkat isu ini,
bagaimana universitas sebagai lembaga pendidikan harus memberikan kontribusinya
bagi lingkungan sekitar dan masyarakat secara umum. Tertuang dalam tri dharma
perguruan tinggi yakni pengabdian. Terminologi pengabdian pun kemudian
didefinisikan sebagai pemberdayaan kepada masyarakat yang didalamnya ada proses
pendampingan, pendekatan yang lazim digunakan adalah Community
Development atau sering disebut ComDev/CD. Selain ComDev ada
pendekatan yang cukup berbeda yang lazim digunakan dalam dunia gerakan yakni Community
Organizing atau disingkat CO. kedua pendekatan ini secara sepintas hampir
sama, namun sebenarnya mempunyai prinsip yang berbeda.
Banyak kaum intelektual yang kemudian mencoba memberi definisi Community
Development dan Community Organizing ,
Tidak jarang istilah yang satu tidak bisa dibedakan dengan yang
lain. Karena dalam prakteknya saling tumpang tindih, saling menggantikan dan mengacu
pada suatu pengertian yang serupa. Kadang orang menyatakan bahwa CD
(community Development) lebih baik dibandingkan dengan CO
(Community Organizing) atau jauh lebih baik, atau pun sebaliknya. Ini
sangatlah wajar. Karena munculnya istilah-istilah tersebut tidak terlepas dari
kurun waktu dan setting social tertentu. Kemunculan istilah-istilah tersebut
juga dipengaruhi dan membawa seperangkat cara pandang, pendekatan, dan
framework yang “kemungkinan” berbeda-beda. Inilah yang disebut dengan paradigma
berfikir. Kemenangan satu paradigma atas paradigma yang lain
biasanya lebih banyak disebabkan karena para pendukung
dari paradigma yang menang itu memiliki kekuatan dan kekuasan (power)
dibandingkan pengikut paradigma yang dikalahkan. Bukan karena paradigma mereka
(yang menang) lebih baik dari yang dikalahkan. Seperti kedua pendekatan yang
sedang dibahas ini, ComDev memang lebih banyak diangkat
daripada CO, tapi bukan berarti ComDev lebih baik
dari CO, berikut deskripsi singkat kedua pendekatan tersebut…
Community Development (ComDev)
Pendekatan pertama yang lazim digunakan saat ini oleh kebanyakan
perguruan tinggi dan gerakan-gerakan didalamnya adalah Sebuah konsep
pengembangan atau pembangunan komunitas yang disebut Community
Development atau ComDev. Pendekatan ini sudah lahir
sejak tahun 1960-an. Pada saat ini, banyak pihak kemudian mengatakan inilah
pemberdayaan masyarakat. Pada prinsipnya ComDev tidak
bertujuan untuk mencari dan menetapkan solusi, struktur penyelesaian masalah
atau menghadirkan pelayanan bagi masyarakat. Com Dev adalah
bekerja bersama masyarakat sehingga mereka dapat mendefinisikan dan menangani
masalah, serta terbuka untuk menyatakan kepentingan-kepentingannya sendiri
dalam proses pengambilan keputusan. Com Dev didefinisikan
sebagai suatu proses yang dirancang untuk menciptakan kemajuan kondisi ekonomi
dan sosial bagi seluruh warga masyarakat dengan partisipasi aktif dan sejauh
mungkin menumbuhkan prakarsa masyarakat itu sendiri.
Dalam pengertian Com Dev seperti tersebut
terlihat bahwa persoalan utama adalah soal social dan ekonomi. ComDev memandang
bahwa persoalan yang muncul di masyarakat bersumber pada kapasitas komunitas
itu sendiri. pengembangan masyarakat berpendapat bahwa : Sumber – sumber
keterbelakangan masyarakat bukan terletak pada kurangnya pendayagunaan sumber –
sumber ekonomi, tetapi pada penggunaan yang salah dari sumber daya manusiawi (the
wrong use of peope). Cara pandang ini melihat ComDev lebih
ditekankan kepada upaya untuk mengembangkan kapasitas warga masyarakat (client-centered)
daripada pemecahan masalah demi masalah (problem-centered). Bagi para
perancang program pengembangan masyarakat, ComDevt berarti program
pendidikan bagi masyarakat untuk mampu mengaktualisasikan dirinya sendiri dalam
program-program pembangunan.
Community Organizing (Co)
Di Indonesia, aktifitas CO sudah dilakukan sejak
lama. Pada jaman pergerakan nasional muncul tokoh-tokoh utama yang melakukan
proses pengorganisasian masyarakat untuk tujuan membangun perjuangan rakyat.
Sebut saja Haji Misbach di Surakarta, yang mampu melancarkan aksi-aksi
pemogokan sebagai bentuk penentangan terhadap kedzaliman penjajahan Belanda.
Pada saat itu, proses Community Organizing berujung pada
pembentukan organisasi kerakyatan sebagai symbol perlawanan dan symbol
perjuangan kaum kecil. Namun, proses CO ini mengalami
kemunduran setelah Indonesia Merdeka.
Pada saat ini, konsep dari pemikiran dan pola kerja Community
Organizing tersebut menjadi populer kembali. Kemunculan konsep CO ini
merupakan sebuah reaksi atas praktek-praktek pembangunan atau “modernisasi”
yang ternyata berujung pada terinjak-injaknya martabat kemanusiaan dan
pengurasan secara dahsyat berbagai sumber daya alam untuk kepentingan
sekelompok kecil manusia di bumi ini. Saul Alinsky dan Paulo Freire
adalah sebagian dari tokoh-tokoh yang mengangkat kembali, dan mempraktekkan
pemikiran dan pola kerja Community Organizing.
Intisari dalam Community Organizing dapat dilihat
pada penggalan kalimat yang cukup popular seperti ini: “Perhatikan
sungguh-sungguh gagasan yang datang dari rakyat, yang masih terpenggal dan
belum sistematis. Pelajari gagasan tersebut bersama mereka, sehingga
menjadi Gagasan yang lebih sistematis. Menyatulah dengan rakyat. Kaji
dan jelaskan kembali gagasan yang datang dari mereka itu, sehingga
mereka benar-benar paham bahwa gagasan itu milik mereka. Terjemahkan
gagasan tersebut menjadi aksi, dan uji kebenaran gagasan tadi melalui aksi.
Begitu seterusnya di ulang-ulang secara ajeg, agar gagasan tersebut menjadi lebih
benar, lebih penting dan lebih bernilai sepanjang masa. Demikian itulah
membangun ILMU PENGETAHUAN RAKYAT” . Kalimat ini merupakan
intisari pemikiran utama dalam CO,
yakni: pertama, Masyarakat memiliki daya dan upaya untuk membangun
kehidupannya sendiri. Kedua, Masyarakat memiliki pengetahuan dan kearifan
tersendiri dalam menjalani kehidupannya secara alami. Ketiga, Upaya
pembangunan masyarakat akan efektif apabila melibatkan secara aktif seluruh
komponen masyarakat sebagai pelaku sekaligus penikmat pembangunan, serta
Masyarakat memiliki kemampuan membagi diri sedemikian rupa dalam peran peran
pembangunan mereka.
Strategi dasar dalam Community Organizing adalah
dengan jalan: pertama, Menempatkan masyarakat sebagai SUBYEK utama
pembangunan, baik dalam proses maupun pencapaian hasil pembangunan. Kedua,
Gagasan suatu pembangunan masyarakat harus mengacu pada kepentingan dan
kebutuhan masyarakat itu sendiri; ketiga, Pembangunan harus bertumpu pada
potensi dan kemampuan masyarakat.
Belajar dari kesejarahan baik yang berkembang di Indonesia pada
zaman pergerakan maupun mengaca pada sejarah kenabian Muhammad SAW, Community
Organizing dimulai dan focus pada lingkungan masyarakat marjinal.
Lihat bagaimana Haji Misbach mulai dengan mengorganisir petani tebu dan buruh
kereta api. Community Organizing saat itu, bekerja dengan
mengajak komunitas atau masyarakat untuk membongkar bungkus alienasi
(keterasingan) dan marjinalisasi (penyisihan) dengan jalan memerdekakan,
melepaskan diri dari proses pembodohan dan pemiskinan yang sudah terjadi secara
sistematis dan terstruktur. Kegiatan Community Organizing haruslah
mampu memberikan pencerahan (enlighment) dan penyadaran kepada komunitas bahwa
kehidupan adalah milik bersama. Coba perhatikan surah Al Maun, apa kira-kira
inti pengajaran yang termaktub dalam ayat-ayat yang terkandung di dalamnya.
Berangkat dari penafsiran atas ayat-ayat seperti inilah dulu Haji Misbach
melakukan pergerakan social, seperti juga Haji Ahmad Dahlan yang menggunakan
Surah Al Maun sebagai dasar gerakan dalam persyarikatan Muhammadiyah.
Selain hal tersebut, yang tidak kalah pentingnya, Community
Organizing (CO) haruslah melahirkan sebuah kesadaran kritis (critical
conciusness) sekaligus mampu mengingatkan orang terhadap kecenderungan
konsumtif, selalu mencari kemudahan dan pragmatis. Sehingga tidak lagi memiliki
daya kreasi dan kemandirian dalam menjalani dan mensikapi kehidupan ini. Jadi Community
Organizing bukan sekedar memobilisasi massa untuk suatu kepentingan,
tetapi suatu proses pergaulan/pertemanan/persahabatan dengan suatu komunitas
atau masyarakat yang lebih menitik-beratkan pada inisiatif massa kritis untuk
mengambil tindakan-tindakan secara sadar dalam mencapai perubahan yang lebih
baik.
Prinsip utama dalam Community Organizing, menurut beberapa tokoh
yang merumuskan tentang metodologi CO sepakat menggunakan ajaran Lao Tze (700
sm) yang lebih kurang berbunyi sebagai berikut :
“Datanglah kepada rakyat, hiduplah bersama mereka,belajarlah dari
mereka, cintailah mereka, mulailah dari apa yang mereka tahu; bangunlah dari
apa yang mereka punya; tetapi Pemimpin yang baik adalah, ketika pekerjaan
selesai dan tugas dirampungkan, rakyat berkata, “Kami sendirilah yang
mengerjakannya”.
Berdasarkan pada ajaran Lao Tze tersebut, maka prinsip yang harus
dipegang dan dijadikan pedoman dalam berpikir dan berbuat bagi seorang aktifis
yang menjalankan kerja-kerja CO adalah : pertama, Membangun
pertemanan/persahabatan dengan komunitas atau masyarakat. Kedua, Bersedia
belajar dari kehidupan komunitas bersangkutan. Ketiga, Membangun komunitas
atau masyarakat dengan berangkat dari apa yang ada atau dimiliki oleh komunitas
tersebut. Keempat, Tidak berpretensi untuk menjadi pemimpin dan “tetua”
dari komunitas tersebut. Kelima, Mempercayai bahwa komunitas memiliki
potensi dan kemampuan untuk membangun dirinya sendiri hingga tuntas.
Dari sini menjadi cukup jelas, apa bentuk-bentuk perbedaan antara
Community Development dan Community Organizing. Meskipun ada bentuk-bentuk
perbedaan, sebenarnya bukanlah suatu persoalan “Benar-Salah”. Semoga menjadi
satu khazanah baru bagi kawan-kawan yang concern di bidang
ini, sekaligus membuka cakrawala berfikir mengenai metodologi dalam proses
pendampingan kepada masyarakat…MARI BERBAGI, MARI MENGABDI!!!
0 komentar:
Post a Comment