Thursday, February 27, 2014

Untuk Dunia Yang Ramah Anak


Seperti biasa, senja selepas belajar bersama dengan adik-adik rumbel yang ceria di sudut kota lumpia sana, saya pulang mengendarai sepeda motor menyusuri jalan-jalan utama kota, senja yang basah, karena dari siang tadi hujan mengguyur rata, membagi rahmatnya ke seluruh kota, saya melintasi jalan raya yang basah memburu waktu karena sebelum isya sudah ada janji dengan seorang teman di masjid dekat kampus…saat berhenti di traffic light, saya mendapati pemandangan yang mengiris dada. Senja itu gerimis masih cukup deras, seorang gadis kecil 4 atau 5 tahun menangis sendirian di samping tiang traffic light, anak jalanan, bajunya yg kumal basah terguyur gerimis hujan, tak lama gadis kecil lain seusianya menghampiri mengajaknya berteduh, saya menatapnya sekilas ketika lampu hijau memaksa saya untuk segera melaju.

Namun saya tak bisa melupakan gadis kecil itu, tubuhnya yang ringkih, bajunya yang kumal dan suara tangisanya yang memilukan, Sepanjang sisa perjalanan saya hanya bisa membayangkan dimana keluarganya, sudahkah gadis kecil itu makan, apakah dia punya baju kering untuk ganti, pertanyaan2 itu sempat membuat mata saya berkaca-kaca. Ingin rasanya membujuknya diam dan membawa serta pulang, tapi tentu persoalannya tak sesederhana itu.

Itu bukan moment yang pertama, begitulah…saya selalu trenyuh tiap kali menyaksikan kerasnya dunia yang dihadapi anak-anak di jalanan, kehidupan jalanan yang keras tak seharusnya di alami anak-anak sekecil itu. di usia mereka, bermain dan belajar di lembaga pendidikan adalah hak yang sepetutnya mereka dapatkan. saat ini setidaknya sudah lebih dari 230 ribu anak hidup di jalanan, jumlah ini adalah yang terdata oleh otoritas politik bernama pemerintah. bisa saja jumlah ini lebih banyak jika kita menghitungnya dengan tanpa tendensi kepentingan. karena pada kenyataanya, jumlah anak jalanan di setiap kota di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. ahh sudahlahh...saya tidak ingin membahas itu kali ini. saya sangat mengapresiasi mereka yang tergerak hatinya dan berjuang dengan gigih untuk mengentaskan mereka dari jalanan dan memberikan hak-hal mereka, berbagi keceriaan, bermain dan berbagi ilmu dengan sukarela, alangkah mulianya mereka…saya selalu berharap pemerintah benar-benar serius untuk membuat undang-undang atau peraturan yang memproteksi anak-anak, memastikan hak-hak mereka terpenuhi tanpa melihat latar belakang ekonomi maupun sosial mereka. peraturan yang benar-benar melindungi bukan produk politis yang hanya formalitas legislasi. selain itu, ada kemauan hukum yang kuat untuk menghukum setimpal orang-orang yang tega mengeksploitasi anak, melakukan kekerasan diluar kewajaran dengan alasan apapun. entah kapan harapan-harapan itu bisa terwujud, yang jelas saat ini berharap pada pemerintah tak akan menolong sama sekali, kita harus memulainya, memulai paling tidak dari diri sendiri.

Anak-anak selalu menjadi mata rantai terlemah di dalam struktur masyarakat. Tubuhnya yang mungil, pengetahuanya yang belum sempurna dan pengalamanya yang minim menjadi alasan bagi sebagian orang dewasa untuk merasa bisa untuk bertindak superior terhadap mereka. kita sebagai orang dewasa harus berkaca bahwa anak-anak adalah amanah, tugas orang dewasa untuk mendidik dan menjaganya, maka muncul pertanyaan : jika bukan kita, siapa lagi yang bisa menghadirkan dunia yang ramah bagi anak-anak?? kita hanya perlu memulainya,,,hingga kini saya masih memimpikan memiliki taman bermain, tempat belajar yang tak harus terlalu besar, yang penting terjangkau dan nyaman untuk anak-anak …disana terdapat ruang perpustakaan yang banyak bukunya, buku-buku yang mendidik untuk anak-anak. ada rumah pohon dan tempat bermain untuk mereka, ada sanggar untuk tempat kreasi anak-anak, kreativitas anak-anak tertuang disana,dimana mereka bisa melukis, bernyanyi, bermain alat musik tradisional atau sekedar berolahraga ringan.
Semoga dapat terwujud…..


- Suwandi Suwe 
di sore yang basah, Februari 2014


source gambar : www.guetau.com

Wednesday, February 26, 2014

Surat Untuk Ibu Guru, yang Sekarang Mendidik Putraku

Ibu guru yang baik, saya titipkan anak saya kepada anda, saya lakukan ini dengan ketulusan, kabanggaan dan perasaan was-was. Maklumlah, sebagai orang tua saya terlalu cemas dengan dirinya. Saya ingat masa-masa ketika ia baru hadir ke dunia ini, tangisan dan tawanya telah membuat kami semua tenggelam dengan perasaan haru. Kini waktunya ia bersekolah dan kami percayakan, putra kami sepenuhnya kepada anda. Sebagaimana dulu ibu dan ayah saya mempercayakan saya pada asuhan anda ibu guru.

Ibu guru tahu, ia punya harta yang tak ternilai harganya, yaitu keterus-terangan. Kalau ia tak suka pada sesuatu ia tak ragu berpendapat. Ini adalah bakat alamiah yang dimiliki semua anak. saya ingin ibu menjaga sikapnya itu. Kami ingin ibu guru memandangnya dan melatihnya untuk menjadi seorang anak yang berani bicara jujur dan terus terang. Lewat surat ini kami ingin berbagi pengalaman dan bertukar saran dalam memahami putra kami.

Pertama-tama, saya meminta ibu guru untuk menjaga dan menghargai sikapnya itu. Ibu tahu, anak saya mungkin tidak tergolong pintar, tapi sikap keterusterangannya itu, jika dipahami dan diperkuat maka ia akan sama pintarnya dengan yang lain. Semangat anak saya akan menyala-nyala jika ibu guru murah dalam memuji dan memberi dukungan, dan akan menyusut jika ia terlalu banyak diremehkan dan dibohongi. Beritahukan kepadanya apapun yang ditanyakan da kami berharap ibu guru menjaganya dan tetap memberi iklim yang membuat kemampuannya bertanya itu hidup dan tumbuh.

Terus teranglah kepadanya tentang apa yang ibu guru ketahui. Kami ingin putera kami bisa belajar tentang kenyataan hidup sebenarnya. Walau kenyataan itu menyaitkan tapi katakanlah yang sesungguhnya kepada mereka. Saya ingin ibu guru melatihnya untuk tetap optimis melihat realitas yang buram dan menyalakan api semangatnya untuk terus belajar. Sikap terus terang dari ibu guru akan memberinya kekuatan dalam melawan kejamnya realitas kehidupan dan sesekali berikan kepercayaan kecil padanya, untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tangan. Saya ingin ibu guru melatih kemandirianya supaya tambah rasa percaya dirinya. Saya tidak ingin ibu guru menjadikannya anak yang sempurna tapi tidak berpeluh keringat, ia harus bisa dan mampu melakukan pekerjaan tangan apapun.

Ibu guru yang baik, langkah anak kami yang masih rapuh ini butuh bimbingan dan arahanmu. Tolong beri dia semangat saat dirinya mencari jalan untuk maju. Saat dia merangkat ketika seharusnya berlari dan saat dia diam ketika anda tahu dia harus mempimpin. Dia masih terlalu muda, jadi sesuatu yang wajar jika dia tidak begitu konsisten. Dia masih belia, jadi sesuatu yang wajar jika terlalu nekad, dia masih hijau, karenanya sering sekali berpikir aneh-aneh. Jangan ibu guru memarahinya dan menjulukinya dengan nama-nama yang menaykitkan. Tolong berikan perlakuan yang sama pada anak kami bahkan teman-temannya, bahwa kalau mereka murid-murid istimewa.

Jika ia punya kelemahan dan keterbatasan, tolong secara diam-diam ibu catat dan rekam. Kelak katakana padanya sembari membantunya mengatasi masalah itu. Katakana juga pada kami sehingga kami ikut membantu dan bisa melibatkannya untuk memecahkan keterbatasan itu. Mengajari anak yang kini sedang menemukan identitas dan meraba harga dirinya memang tidak mudah, tapi karena itulah, kita bisa bertukar pengalaman dan pengetahuan. Latihlah dirinya untuk berorganisasi karena disana dirinya akan menemukan mutiara perilaku agung, yani solidaritas dan cinta pada sesama. Latihlah dirinya untuk memahami persoalan yang lebih luas ketimbang kepentingannya sendiri. Saya ingin ibu guru mengajarinya untuk berkorban, dan memahat sikap kepedulian.

Anak saya datang pada ibu dengan tekad untuk belajar, mohon ibu guru jangan mengecewakannya, jadikan masa-masa sekolah ini menjadi sesuatu yang menyenangkan, menarik dan menggairahkan baginya. Ajaklah dia sesekali keluar untuk melihat kalau pendidikan itu bukan hanya dari bangku ke bangku tapi juga lewat kenyataan keseharian. Saya ingin ketika ia meninggalkan kelas ibu, dirinya memiliki keyakinan lebih atas kemampuannya sendiri. Kelak ketika ia meninggalkan kelas ibu, saya berharap dirinya akan memiliki kecintaan yang besar pada pengetahuan dan sesamanya. Sebagai pelajar dan sebagai pribadi, kami sangat berharap ibu bisa tekun membimbing dan mengarahkannya. Pada akhirnya, bantulah putera kami menemukan harapan diatas bongkahan kehidupan bangsa yang buram dan menyakitkan ini. tahukan ibu, tahun ini ibu akan menjadi salah seorang yang paling penting dalam hidupnya. Dia akan memutuskan untuk meniru atau menolak nilai-nilai yang ibu guru semaikan. Dia mungkin akan menghormati dan mengingat ibu sepanjang hayatnya. Atau sebaliknya, dia tidak lagi mengingat ibu dan merasa kecil hati atas setiap tindak tanduk ibu yang mungkin bertolak belakang dengan nilai yang ibu ajarkan. Sejujurnya saya sebagai oran tua, ingin ibu bisa menjadi orang yang paling dikaguminya, tapi untuk ini, ibulah yang bisa menentukan. Ohya, pada saat tahun ajaran berakhir mohon berikan ucapan terimakasih dan pelukan hangat padanya, berterimakasihlah padanya karena telah menjadi bagian dari kehidupan ibu. Sebagaimana saya sangat berterimakasih kepada ibu karena telah menjadi bagian dari kehidupan anak saya. Kami tahu, diatas segala harapan kami, ibu guru sendiri didera oleh banyak problem. Tuntutan atas kesejahteraan dan status membuat kami semua juga ingin berbuat banyak untuk anda. Jadikanlah putera kami menjadi seorang yang kelak akan memahami profesimu dan kelak bisa berbuat banyak untukmu. Jangan ragu untuk meminta bantuan solidaritas maupun perjuangan dari kami. Karena kami tahu, tahun ini anda menjadi bagian dari kehidupan kami sekeluarga. Dengan cinta dan penuh harapan, ayah dari siswa anda.

Salam
dari kami sekeluarga


Sumber : dari buku Jack Canfield & Mark Victor Hansen, seajaib lampu aladin dan disadur oleh Eko Prasetyo dalam buku Guru : Mendidik itu Melawan 

*Menakuti atau Mendidik?" - Refleksi untuk Para Pendidik

Saya pernah ditanya soal ini dalam sebuah sesi workshop kepenulisan, seorang penanya, guru Bahasa Indonesia sebuah SMA, bertanya: "Anda bilang, tidak ada tulisan yang bagus atau jelek. Anda juga bilang, tulisan hanyalah soal relevan atau tidak relevan dengan pembaca, bermanfaat atau tidak bermanfaat. Lantas bagaimana kami harus menilai tulisan yang dibuat oleh murid2 kami? Kan kalau tidak ada yang bagus atau jelek, bagaimana memberikan angka nilainya?"
Ini jenis pertanyaan yang sangat dalam, yang tentu saja, siapapun yang akan memberikan jawaban dengan seketika menunjukkan bagaimana dia memahami masalah ini. Jawaban saya simpel: berikan saja nilai bagus. Jika nilai terburuk adalah nol, paling bagus adalah 100, maka apa susahnya seluruh tulisan murid2 dikasih nilai 80, atau bila perlu 90.
Kalau kita sekolah di universitas2 besar Amerika, atau Jepang, maka kita akan menemui guru besar, profesor dengan wisdom yang amat menakjubkan soal ini. Mereka sering bicara dalam banyak kesempatan, atau banyak murid2nya (mahasiswa kita yang kuliah di sana) yang membuat tulisan atas pemikiran mereka, dan sangat menarik membacanya, memahaminya. Kadang, betapa berbedanya cara kita memandang proses pendidikan. Dan itu tercermin dari komentar kita, perbuatan kita, dan keputusan kita.
Sebenarnya apa sih fungsi seorang guru? Mendidik? Atau memberikan nilai? Mendorong, memotivasi? Atau menekan, atau menakuti? Apa sih sebenarnya fungsi seorang guru? 
Lantas apa sih tujuan dari kita semua belajar? Menemukan ilmu baru? Atau hanya mempelajari yang ada? Menambah khazanah ilmu? Atau sekadar memperoleh nilai dari ilmu2 tertulis di buku? Mencari ilmu? Atau mencari angka dan ijasah? Apa sih sekolah itu? Taman bermain penuh ilmu, atau panci panas tekanan tinggi?
Lihatlah, dalam ujian skripsi, thesis, di negeri ini, para penguji berubah menjadi harimau lapar, galak sekali menghabisi mahasiswanya. Astaga? Apa poin-nya? Di mana hakikat mendidik jika sebuah ujian hanya menjadi neraka, bukan sebaliknya tempat menyenangkan utk berdiskusi, kemungkinan2 penelitian lanjutan, dan kemungkinan2 munculnya ilmu baru. Lihatlah, jutaan murid2 kita setiap tahun harus melewati ujian nasional. Apa poin-nya? Untuk membuat klasifikasi? Untuk menyimpulkan sebuah proses pendidikan? Siapa yang pintar, siapa yang goblok. Siapa yang boleh lanjut sekolah, siapa yang cukup di sini saja daripada nanti merepotkan? Padahal bukankah, orang paling goblok sekalipun berhak atas pendidikan lanjutan. 
Tidak bisakah kita memberikan nilai dalam bentuk kalimat: "Anda telah berusaha dengan sungguh2, memulai dengan amat berat, tapi Anda menunjukkan kemajuan yang sangat baik, teruslah berusaha. Perbaiki kalimat pembukanya, lebih banyak mencari referensi, jangan takut membuat analisis, lantas berikan kesimpulan yang kokoh." Kemudian sebagai guru kita tuliskan A, atau 90 di karya tulis murid tersebut. Tidak bisakah kita menjadi guru yang mendidik, bukan menghakimi. Kita toh bukan polisi yang memang bertugas menghukum, juga bukan hakim yang memang menghakimi. Kita adalah pendidik, hukuman dari kita pun sifatnya adalah mendidik.
Saya tahu, kita tidak hidup dalam sistem yang selalu mendukung filosofi mendidik yang kita pahami. Bahkan boleh jadi, kita malah dibenturkan dengan realitas menyakitkan. Tapi tidak apa, Kawan. Kita tetap bisa punya ruang untuk menjadi guru yang selalu mendorong murid2nya. Saya selalu menemukannya dalam sejarah sekolah formal yang saya miliki. Ketika SMA, saya menemukan guru2 baik yang tidak peduli soal nilai, tidak peduli soal angka2, selain terus melatih anak muridnya berkembang. Dalam pelajaran bahasa Indonesia misalnya, saya pernah punya guru yang menciptakan pekerjaan rumah yang menarik, tugas2 yang hebat, bahkan saat ujian sekalipun, dia membuat soal2 yang menakjubkan, menantang kemampuan menulis, dan itu sungguh memicu kemampuan murid2 untuk menjadi penulis. Tidak apa, kalau memang tetap terpaksa memberikan angka untuk nilai. Tapi bukan berarti kita tidak bisa menjadi guru yang selalu memotivasi murid2nya.
Buah dari pendidikan itu baru akan dipetik di masa depan. Ibarat menanam pohon. Jika sejak awal akar2nya keropos, malah disiram dengan pupuk ketidakjujuran, kecurangan, besok lusa buahnya akan pahit dan merusak. Tapi jika sejak awal akar2nya kokoh, disiram dengan integritas dan kasih sayang mendidik, meski sekarang tidak terlihat heboh, keren, dahsyat, besok lusa justeru buah yang akan dipetik terasa manis dan bermanfaat. Dari mana sih datangnya orang2 jujur? Orang2 yg peduli? Orang2 yg bermanfaat? Dari proses pendidikan yang baik. Orang2 ini tidak datang dari proses sim salabim, muncul dari kotak.
Maka, darimana datangnya orang2 korup? Jahat sekali menzalimi hak orang lain? Dari proses pendidikan yang buruk. Orang2 ini tidak seketika jadi jahat. Semua orang seharusnya bercermin, termasuk penulis seperti saya, apakah sudah memberikan tulisan2 yang bermanfaat, mendidik atau sebaliknya. Tulisan yang seru2an, heboh, laku, membuat kaya raya, besok lusa pembacanya jadi apa, lupakan soal lainnya. 
Semoga semakin banyak yang mau memikirkannya....

Sumber : Status Facebook Darwis Tere Liye